#4.0 Little Talk

1.3K 153 82
                                        



Aroma kopi menguar ketika aku sampai di bar. Seperti yang biasa aku lakukan, bel di atas meja kubunyikan sekuat tenaga hingga satu cowok yang senior soal racik-meracik kopi tersebut membalikkan tubuhnya dan menatapku jengkel.

"Miss me?" tanyaku pada Anwar, senyum ear to ear sengaja kulemparkan padanya hingga membuatku menemukan matanya memutar jengah.

"Absolutely not," jawabnya tanpa ekspresi, tangannya telaten mengelap gelas-gelas kaca di lemari—yang kuyakini lusinannya seharga gajiku tiga bulan.

Well, seluruh barang mulai dari ornamen kecil sampai furniture yang menghiasi seluruh ruang di The Palace pasti sangat bernilai jual tinggi, bahkan lilin dalam gelas kecil yang tersedia di setiap meja di kafe pun pasti mahal. Salut rasanya melihat Anwar bisa mengelap gelas-gelas kaca tersebut tanpa gemetar sama sekali. Karena, sampai saat ini aku masih suka gemetar jika harus mengantar pesanan penuh dalam satu nampan, apalagi kalau jaraknya dari dapur cukup jauh. Aku hanya bisa berharap nggak sampai bertubrukan dengan server lain ataupun salah satu pelanggan.

"Tumben lo siang gini udah ada di sini? Bolos lo ya?"

Tuduhan barista gondrong itu membuatku mendengus. "Kurang ajar," kataku sambil mendudukkan diri salah satu kursi, kemudian meletakkan totebag yang hanya berisi binder tipisku itu ke atas meja bar. "Tiba-tiba aja kelas dibatalin, diganti ke hari lain. Gue rasa bakal gabut banget kalo cuma nongkrong-nongkrong di kampus. Makanya, mumpung belum jam tiga, gue langsung caw ke sini biar bisa pulang cepet."

Anwar mengernyit. "Tukeran shift sama siapa?"

"Betty," jawabku, "emang lo nggak liat grup di Line?"

Cowok itu menggeleng ragu. Ah, sudah pasti sekali Anwar buka Line tapi nggak ngecek group chat part-timer The Palace. Di sana, memang berisi anak-anak part-timer dari yang sudah jadi alumni sampai yang baru jadi mahasiswa macam Mona—for your information, cewek itu tahan masa percobaan seminggu hingga kini telah menjadi part-timer sesungguhnya sepertiku.

Dan seperti aturan tertulis di SOP karyawan The Palace, barang siapa yang ingin ganti shift, harus menemukan penggantinya. Kebetulan, tadi siang Betty melempar pertanyaan mengenai siapa yang mau bergantian shift dengannya karena cewek itu seketika mendadak ada urusan organisasi yang mendesak. Kebetulan pula, di saat yang sama, aku baru saja mendapat info soal kelas yang dibatalkan. Nggak butuh waktu banyak untuk berpikir, aku pun langsung menawarkan diri menggantikan betty di shift-nya yang dari jam tiga sore hingga jam sembilan malam, dan cewek itu mengisi shift-ku yang dimulai dari jam sembilan malam hingga jam tiga pagi.

Tapi, kini waktu menunjukkan pukul dua siang lebih sedikit, aku memiliki waktu kurang lebih satu jam sebelum kerja di mulai. Jadi aku memilih untuk mengganggu Anwar yang kali ini sedang prepare.

"Daripada nontonin gue, mending lo bantuin gue sini," ucap Anwar tiba-tiba di sela-sela mengelap gelas-gelas kacanya tersebut.

"Mau sih," aku mengernyit, "tapi takut pecah ah," kemudian menjulurkan lidah ke arahnya dan tertawa.

Cowok itu sampai-sampai melongo mendengarnya dan tangannya berhenti. "Gue lempar gelas beneran lo ya!" serunya, "ngelap doang, Puspa. Gue nggak minta lo nyuci gelas. Bilang aja kalo emang nggak mau bantuin."

Aku tertawa keras, untung The Palace lagi nggak ramai, hanya sekitar tiga meja yang terisi pelanggan siang ini. "Gitu doang ngambek," kataku, kemudian bangkit dari duduk dan mengitari meja bar untuk berada sebelah Anwar. Dan mengambil gelas lain yang belum dilap oleh Anwar. Hal ini meskipun terlihat nggak penting, sebenarnya cukup penting untuk menjamin nggak ada debu yang menempel di gelas-gelas tersebut. "Nih, gue bantuin!"

Cage of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang