#0.0 The Palace

5.1K 377 25
                                    



"Oke, Mona. Udah pernah ke The Palace sebelumnya?"

Aku menanyakan hal yang sama pada kurang lebih sembilan orang sebelum cewek berambut panjang dengan ujung rambut yang keriting indah itu berada di hadapanku—and of course, her hair is curled by an iron. Not that I judged her, jujur saja, gaya rambutnya sangat cocok dengan tipe wajahnya, menjadikan cewek bernama Mona ini cantik. Aku hanya membandingkan dengan diriku dan bagaimana jika aku mencoba gaya rambut yang sama—obviously, nggak akan cocok!

Seperti jumlah orang yang sudah kuwawancarai sebelumnya, aku memperhatikan detil penampilan sembilan orang tersebut, tak terkecuali cewek tingkat satu di hadapanku ini yang masih bisa mengumbar senyum lebar nan manis, berpenampilan sangat baik, dan sedang semangat-semangatnya bersosialisasi serta memperbanyak pengalaman. Dan mendaftar sebagai pekerja sambilan di The Palace adalah salah satunya.

Para pelamar ini membuatku teringat dengan diriku tahun lalu. Dulu, aku berada di kursi yang sama seperti yang diduduki Mona, bedanya jawabanku ketika ditanya pertanyaan yang sama sangat bertolak belakang dengan jawaban cewek itu. Aku menggeleng ragu, karena jelas nyaliku langsung ciut ketika ditanya begitu. Nggak pernah sekalipun aku menginjakkan kaki untuk nongkrong di The Palace sebelum akhirnya mencoba apply CV untuk menjadi seorang server. Jelas saja, aku merasa wawancara kali itu akan sia-sia. Siapa pula yang mau memperkerjakan orang yang bahkan nggak pernah sekedar minum kopi dan sok sibuk dengan laptopnya di salah satu meja kafe beken di daerah kampus tercinta? Aku, saat itu, seratus persen yakin nggak akan ada balasan email muncul dari The Palace yang menyatakan aku diterima.

But here I am, menjadi salah satu part-timer loyal yang masih stay di The Palace dan punya kesempatan untuk meng-interview newbie yang beribu langkah di depanku. Aku yakin, kalau aku baru apply tahun ini, aku nggak akan keterima. Even I don't know why they hired me!

Uhm, well—it's not really true, I do know why.

Sistem seleksi di The Palace lebih mungkin jika disebut seleksi alam pada saat training, akan diuji seberapa kuat para trainee tersebut atas segala pekerjaan yang nggak kenal ampun dengan segala alasan, meskipun itu alasan akademis. Dari 10 trainee, satu per satu gugur sisa 3. I don't really have a solid reason why I survived, karena kalau urusan uang, orangtuaku selalu mengirimnya tiap bulan dan tepat waktu, dan yang kuingat aku hampir bolos seminar karena di hari yang sama harus training. Training for some low paying job over academic, real crazy, right? Hanya saja, rasa penasaranku untuk menjadi part-timer lebih tinggi dibanding semangatku untuk kuliah. Dan beruntung, saat itu seminar diundur ke minggu berikutnya. Sementara jadwal kuliahku sebagai mahasiswi semester dua jurusan Manajemen Komunikasi sangat teramat sesuai dengan jadwal training-ku. Lucky me!

Setelah anggukkan antusias Mona dan pernyataan bahwa cewek itu sudah lebih dari tiga kali ke The Palace, giliran aku bertanya menu favoritnya kalau sedang nongkrong di kafe tempatku bekerja.

"Kalau lagi lapar, aku paling suka pesen rice bowl-nya, atau butter rice-nya. Tapi kalo lagi pengen nyemil sambil nugas, aku suka pesen pangsit mozzarella, dan selalu dengan es teh manis. Kalau lagi ngantuk, kopi di sini terbaik!"

Aku berlagak cuek meskipun dalam hati mengangguk sekuat tenaga. Aku setuju dengan pernyataan terakhirnya. Kopi di The Pallace memang terbaik! Aku nggak ngerti apa yang dilakukan Anwar sampai-sampai kopi buatannya bikin nagih dan cowok itu bisa meraciknya dalam waktu singkat.

I add more things about Mona on the note. Cewek ini cheerful banget plus cerewet, jelas paling cocok untuk jadi server.

Dan sangat bertolak belakang denganku, jujur saja.

"Aku pikir kita cukupkan saja interview-nya, ya, Mona. Ada pertanyaan?"

Nah, ini pertanyaan yang tricky abis. Kalau cewek itu punya tanggapan, jelas orangnya inisiatif. Aku menekankan pertanyaanku dengan menaikkan kedua alis.

"Hm... kira suasana kerja di sini itu gimana ya, kak?"

One more point for her. Aku tersenyum, kemudian menjawab, "Good question. Itu balik lagi ke kamu, apa kamu bisa bersosialisai dengan karyawan yang lain atau enggak dan bagaimana kamu ke customer. So far, semuanya baik-baik aja," kecuali pas training, tambahku dalam hati. Tentu saja aku nggak mengatakannya terang-terangan. "Kamu nggak keberatan kan, untuk bersosialisasi? Berdasarkan CV kamu, kamu sangat senang bersosialisasi."

Dengan senyum lebar, Mona menggeleng. "Enggak kok kak, itu bahkan jadi salah satu tujuan aku untuk kerja di sini."

Hmm, good answer and good attitude. Aku yakin Mona akan lolos tahap wawancara. But let's see, apakah cewek ini akan tahan di tahap training? Kalau iya, aku yakin ia akan menjadi primadona di The Palace.

"Terima kasih banyak, Mona, sudah meluangkan waktu. Kamu boleh keluar sekarang," ucapku menyelesaikan tugasku. Cewek itu pun balik mengucapkan terimakasihnya.

Selesai sudah sepuluh pelamar kuwawancara hari ini. Masih ada sepuluh untuk besok, sepuluh untuk hari setelah esok, dan sepuluh-sepuluh yang berikutnya. Aku tahu, seratus pelamar lebih pasti akan melelahkan begini. Tapi aku menyukainya.

Karena volunteer untuk menjadi pewawancara mendapat satu gelas kopi buatan Anwar. And I couldn't say no to his coffee, no one could. Even the owner of The Palace couldn't.

***

[30 November 2018]

new story anyone? hehehe

gue serius bingung mau bilang apa lg, jd semoga suka ya, dan semoga gue bisa nulis cerita ini sampai akhir wkwkwk kritik dan saran apapun itu terbuka, bisa langsung komen aja!

makasih juga buat yg udh klik cerita ini dan nyempetin baca. it means so much!

dhita^^

Cage of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang