Chapter 09 : Tentang Arus Balik Yang Terlupakan

189 38 6
                                    

Aku duduk di bawah pohon yang dikatakan oleh Tuan Jersey, sedangkan yang lain melanjutkan kelas.

Bagaimana ini? Aku belum pernah melihat masa depan atas kehendakku sebelumnya. Aku tidak tahu cara mengaktifkan kemampuan ini.

Aku harus mencoba, aku harus berkonsentrasi.

Kedua mataku terpejam erat. Aku memusatkan semua perhatianku kepada satu pemikiran, yaitu melihat masa depan. Apapun itu, meski hanya buah yang jatuh dari pohon pun tidak apa.

Di hari pertamaku, aku terancam tidak bisa pergi ke mana-mana.

Ayolah diriku, coba melihat sesuatu!

Namun sekeras apapun aku mencoba, aku tetap tidak bisa melihat masa depan. Bahkan ketika aku membayangkan masa depan apa yang kira-kira akan terjadi, aku justru kebingungan membedakan imajinasiku dengan penglihatan masa depan.

Seluruh murid kini telah mendapat giliran menunjukkan perkembangan bakat, dan jam pergantian kelas telah tiba. Mereka semua pergi menuju lokasi kelas selanjutnya, menyisakan aku dengan Tuan Jersey.

"Bagaimana? Sudah melihat sesuatu?"

Aku mengusap keringat yang mengalir di pelipisku, kemudian menggeleng. Belum, sama sekali belum. Aku tidak dapat melihat masa depan barang sepotong kejadian.

"Ini mustahil," gumamku putus asa.

"Bukannya mustahil, lebih tepatnya sedikit sulit." Tuan Jersey tersenyum tipis. "Cobalah lagi hingga kamu dapat melihat satu masa depan. Aku akan menunggu di sini," ujarnya seraya duduk bersender di pohon sebelahku.

Dia ini sedang memaksaku atau apa?

Aku mengembuskan napas kasar, memejamkan mata, mulai berkonsentrasi.

Beberapa jam berlalu, perutku mulai berisik menuntut untuk diisi. Sinar matahari yang terik dan rasa lapar cukup untuk membuatku kesulitan berkonsentrasi. Jika seperti ini, sampai besok pagi pun sepertinya mustahil bagiku untuk dapat melihat masa depan.

"Ini."

Aku mendongak, mendapati Tuan Jersey menyerahkan sekotak makanan kepadaku. Dia tersenyum ramah. "Akan sulit berkonsentrasi dengan perut kosong. Makanlah dulu."

Aku menerima kotak makanan tersebut. "Terima kasih."

"Bukan masalah besar." Tuan Jersey kembali ke tempatnya, membuka kotak makan miliknya. "Kamu itu bukanlah orang yang ekspresif, ya?"

Aku membuka kotak makan, mulai menggigit roti lapis yang ada di dalamnya. Sepenuhnya mengabaikan perkataan Tuan Jersey.

"Apa kamu tahu, dulu ada seseorang yang memiliki kemampuan mirip sepertimu. Namun bedanya, kemampuannya bekerja saat bersentuhan dengan orang lain. Saat itu aku memintanya untuk melihat masa lalu seseorang tanpa menyentuhnya. Sebelum dia dapat melakukannya, kularang dia untuk pergi dari tempat ini, sama sepertimu hahaha."

Aku meringis pelan. Menurutku perlakuannya itu kejam, sama sekali tidak bisa ditertawakan.

"Sebenarnya aku tidak serius saat mengatakan padanya bahwa dia tidak boleh tidur saat malam tiba, tetapi dia benar-benar melakukannya. Astaga, aku begitu salut dengan tekadnya."

Dia ... tidak berpikir agar aku melakukan hal yang sama, bukan?

"Meskipun pada akhirnya dia jatuh pingsan karena terlalu memaksakan diri, dia tetap tidak berhasil melakukan apa yang kuperintahkan, hahaha."

Astaga ... dasar kejam.

"Yah, alasan aku meceritakan ini padamu adalah, jangan menyerah sebelum kamu mengerahkan kemampuan terbaikmu. Sesulit apapun itu, kamu pasti bisa melakukannya, kecuali jika memang sudah menjadi takdirmu untuk tidak bisa melakukannya." Tuan Jersey menggigit roti lapisnya, tersenyum lebar.

Aku tidak tahu harus merasa terbantu atau kesal dengan nasihat yang diberikan pria paruh baya itu, jadi aku memutuskan untuk diam―meski sejak tadi yang kulakukan hanyalah diam.

"Oh iya, apakah kamu tahu sesuatu yang memancing munculnya kemampuanmu?"

Aku menggeleng. Aku tidak tahu.

"Hm ... kamu bahkan tidak mengetahui penyebabnya, ini mungkun sedikit sulit." Tuan Jersey menggaruk kepalanya. Rambutnya yang sudah berantakan jadi semakin berantakan.

Mungkin dia benar, ini akan sulit. Aku bahkan tidak mengetahui cara kerja kemampuanku. Mungkin aku harus tidak sadarkan diri dulu baru bisa pergi dari tempat ini.

Aku tersentak pelan, sebuah kegelapan menghampiri penglihatanku. Astaga, ini bukankah pertanda bahwa kemampuanku mulai bekerja? Kenapa tiba-tiba sekali?

Kegelapan itu tergantikan oleh sebuah pemandangan Tuan Jersey. Tumpukan balok kayu terjatuh dari atas pohon, terjatuh tepat di atas sosok Tuan Jersey yang sedang makan siang.

Detik setelah pandanganku kembali normal, aku segera berdiri dan menarik tangan Tuan Jersey, menyeret menjauh sosok pria itu. "Tuan, awas!!"

Tepat waktu. Balok kayu itu terjatuh dari atas pohon. Telat sedetik saja, mungkin Tuan Jersey bisa terluka.

"Tuan Jersey baik-baik saja?" tanyaku sedikit cemas. Sebenarnya aku tidak habis pikir, kenapa pula balok kayu bisa terjatuh dari atas pohon? Tidak, lebih tepatnya kenapa ada balok kayu di atas pohon?

Kupikir Tuan Jersey akan terkejut atau apa, tetapi pria itu justru tertawa puas. "Sudah kuduga, pemicu kemampuanmu adalah bencana."

... Apa?

***TBC***

SyndromesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang