Chapter 10 : Halaman Selanjutnya

227 29 22
                                    

"Sudah kuduga, pemicu kemampuanmu adalah bencana."

... Apa?

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, menatap tidak mengerti. Apa yang baru saja Tua Jersey katakan?

"Hahaha, tidak perlu bingung begitu. Kemarin aku sudah mendengar kabar bagaimana kamu dibawa ke sini. Kamu sempat melihat masa depan bus yang terjatuh, bukan? Itu adalah bencana. Maka, aku menebak-nebak, mungkinkah itu adalah penyebab kemampuanmu?" Tuan Jersey melambai-lambaikan tangan ke arah pohon tempat balok kayu tadi terjatuh. "Jadi aku meletakkan balok kayu di atas pohon, kemudian meminta Nathan mengendalikan sebuah robot untuk mendorongnya. Kerja bagus, Nathan!"

Sebuah benda berbentuk bola sedang yang terbuat dari besi terbang keluar dari persembunyian. Bola tersebut dilengkapi sepasang tangan robot dan layar hijau. "Tadi itu beresiko sekali, Tuan," ujar suara dari dalam robot tersebut.

"Namun bukankah hasilnya sebanding? Kita jadi mengetahui pemicu kemampuan anak ini," balas Tuan Jersey sembari menepuk-nepuk bahuku. Nada suaranya terdengar bahagia.

"Tetap saja itu berbahaya, Tuan." Kali ini aku angkat bicara, sekaligus memprotes. "Jangan bermain-main dengan nyawa. Karena sekali kamu kehilangan nyawa, maka kamu akan kehilangan segalanya."

"Baiklah, aku minta maaf telah membuat kalian khawatir. Hahaha, tidak pernah kubayangkan, bahwa aku akan dinasihati oleh muridku sendiri."

"Aku pamit pergi, Tuan. Ada sesuatu yang harus kukerjakan," ujar suara dari robot tersebut.

Tuan Jersey mengibas-ngibaskan tangannya. "Baiklah, pergilah. Terima kasih sudah membantu."

Robot itu berdesing pelan, kemudian terbang menjauh.

"Karena hari ini kita berhasil mengetahui pemicu kemampuanmu, kamu boleh pulang. Ah, sepertinya kelas kedua telah berakhir, dan ini sudah memasuki jam bebas." Tuan Jersey mengecek waktu di jam tangannya. "Jangan senang dulu, pertemuan selanjutnya kamu harus bisa melihat masa depan atas kehendakmu, oke?"

Aku menipiskan bibir. Dalam hati berharap semoga pertemuan selanjutnya tidak cepat tiba.

***

Setelah tersesat tiga kali di bangunan utama, akhirnya aku berhasil menemukan arah menuju perpustakaan.

Ternyata saat pagi hari, ada sarapan di Kantin yang terletak di gedung utama. Makan siang juga baru saja berakhir ketika aku tidak sengaja melewati Kantin. Aku tidak tahu karena Mauren tadi pagi tidak menyinggung soal sarapan. Ah, sepertinya karena kami bangun sedikit terlambat? Lagi pula sarapan diadakan pukul enam pagi, sedangkan tadi aku bangun pukul tujuh.

Aku melangkahkan kaki memasuki Perpustakaan. Tempat ini begitu luas dan dipenuhi dengan buku yang berjejer rapi di rak-rak tinggi. Perpustakaan ini juga dilengkapi dengan teknologi modern. Belasan android―robot berbentuk manusia―berkeliling membereskan buku. Ada sebuah monitor tempat mencari buku. Hanya tinggal memasukkan buku apa yang ingin dicari, maka sebuah android akan datang membawakan buku yang tengah dicari.

Aku terkagum-kagum dengan banyaknya koleksi buku yang dimiliki oleh tempat ini. Ketika aku selesai menginput buku yang hendak kubaca, sebuah android melayang cepat mendekatiku dengan beberapa buku di tangannya. Dia memberikan buku itu kepadaku, kemudian kembali terbang ke posisinya.

Dengan tiga judul buku yang tebal halamannya seperti batu bata, aku duduk di salah satu kursi kosong, kemudian mulai membaca.

Sejarah Calista Academy.

Akademi rahasia yang dibangun dengan tujuan mengumpulkan para remaja yang mengidap penyakit sindrom efiveia. Pemerintah dunia dan beberapa organisasi internasional mendukung penuh program sekolah yang dikepalai oleh Stephenson Dowens―kepala sekolah Calista Academy.

Tunggu, jadi pemerintah dunia dan beberapa organisasi internasional mengetahui tentang sindrom aneh ini?

Cukup mengejutkan. Pantas saja mereka mendapat biaya yang cukup untuk membangun akademi dengan fasilitas serba mutakhir seperti ini.

Menurut buku sejarah, Stephenson Dowens atau lebih akrab dipanggil Tuan Steve ini adalah seorang ilmuan yang sangat cermelang. Banyak benda-benda ciptaannya yang diberikan penghargaan dan diakui dunia. Dia juga seorang ilmuan yang mengemukakan soal fenomena aneh beberapa waktu silam, dan menyebutnya sebuah penyakit sindrom efiveia. Dialah yang mengajukan kepada pemerintah untuk membangun akademi ini.

Selain hal positif tentangnya, ada juga sesuatu buruk yang terjadi padanya. Dikatakan bahwa putri sulungnya tewas saat melakukan percobaan eksperimen bersamanya tahun lalu. Hanya itu yang dijelaskan, selebihnya masih misteri.

Aku menutup buku tebal berdebu itu, menjauhkannya ke ujung meja kayu, kemudian menarik buku lain yang belum kubaca. Aku kembali membuka halaman buku tua yang sudah menguning, mencoba membaca goresan tinta hitam yang mulai mengabur. Mataku menelusuri halaman penuh tulisan itu.

Seluruh catatan ini ada yang janggal, atau mungkin perasaanku saja?

Tidak ada yang menyebut apa penyebab terjadinya hujan aneh tersebut, bahkan jika itu hanyalah sebuah teori.

***TBC***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SyndromesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang