Chapter 03 : Sketsa Kasar

296 47 6
                                    

Apa yang sebenarnya dia pikirkan?

Aku menepuk pundak Kevil, memanggil sekali lagi. Kali ini suaraku sedikit mengeras. "Kevin!"

Lelaki itu tersentak karena terkejut. Dia segera menatapku. Entah mengapa wajahnya dipenuhi keringat. "Anise, ayo kita keluar dari sini."

"Apa maksudmu?" tanyaku masih berpegangan kepada tiang kursi. "Sebentar lagi mereka akan menemukan tangga daruratnya, kita harus menunggu."

"Tapi ...!" Kevin mencoba berdiri dari tempat duduknya, dan berakhir nyaris terjatuh akibat guncangan yang belum berakhir. Dia kembali duduk dan mencekeram kepala kursi. Raut wajahnya mengeras.

"Tenanglah, memangnya hal buruk apa yang akan terjadi--"

Pandanganku dipenuhi kegelapan, membuatku refleks menahan napas. Perlahan kegelapan itu tergantikan oleh sepotong adegan. Bus yang kami tumpangi berhenti berguncang. Kupikir itu berita bagus, hingga tiba-tiba saja aku melihat bus itu terjatuh bebas begitu saja.

Jatuh.

Ketika pandanganku kembali normal, aku segera menatap Kevin dengan pandangan serius. "Kevin, kita harus segera menemukan tangga darurat!"

Kevin mengerjapkan matanya beberapa kali, terlihat terkejut. Mungkin ini aneh, mengingat aku yang memintanya tenang, tetapi justru aku kini panik. Seakan mengerti keadaan, lelaki itu mengangguk.

Sembari berjalan dengan bergantian berpegangan ke apapun yang dapat menahan keseimbangan, kami berdua ikut mencari keberadaan tangga darurat bersama beberapa orang lainnya.

"Kenapa kalian berdiri? Cepat duduk! Nanti kalian bisa jatuh!" tegur seorang pria begitu melihat kami berdua.

Kevin menggeleng tegas. "Kami akan ikut membantu!"

Sadar bahwa ini bukanlah waktu untuk berdebat, pria itu membiarkan kami ikut mencari. Selama pencarian, jantungku berdegup begitu kencang. Berapa lama lagi waktu yang kami miliki hingga bus berhenti berguncang? Lima menit? Dua menit? Aku sama sekali tidak mengetahui waktunya!

Detik-detik yang berlalu penuh ketegangan. Rasanya aku ingin menjerit. Ini adalah situasi diluar dugaan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Aku naik ke lantai dua bus. Situasi di sini tidak jauh berbeda dengan situasi di bawah. Penuh kepanikan.

Semenit berlalu, terasa sudah seabad. Aku menggigit bibir bagian bawahku. Keringat dingin sudah mengguyurku dari atas hingga bawah, membuat seragamku sedikit lepek.

"Anise, di sini!" Kevin berseru dari lantai bawah. Aku segera turun dari lantai dua dengan hati-hati, berpegangan dengan pembatas tangga agar tidak jatuh.

Kevin dan beberapa orang terlihat sedang menarik keluar sebuah tangga yang terbuat dari tambang. Beberapa orang mengembuskan napas lega melihatnya.

Pria berkumis tebal membuka salah satu jendela terdekat. Dia mengikat ujung tali tangga ke tiang kursi, kemudian mengeluarkan sisanya ke luar jendela. "Ayo, prioritaskan anak-anak terlebih dahulu!"

Baru saja aku hendak mengembuskan napas lega, Kevin segera mencekeram pundakku. "Tidak," desisnya.

Aku menatap dengan pandangan tidak mengerti. "Ada apa--"

"Apa maksudmu dengan memprioritaskan anak-anak?!" Seorang pria berjas hitam berseru dengan nada melonjak. Raut wajahnya tampak tidak terima. "Ada banyak anak-anak di sini! Bagaimana jika bus ini terjatuh sebelum aku turun dengan selamat?!"

"B-Benar! Seharusnya siapa cepat dia dapat. Bukankah itu lebih adil?" sambar wanita yang tak jauh dari tempatku berada.

Egoisme.

"Tenanglah! Kita semua pasti bisa turun dengan selamat!"

"Omong kosong! Aku tidak dapat menunggu. Biarkan aku turun lebih dulu!"

"Aku yang akan turun duluan!!"

"Hey, aku duluan!!"

Kekacauan pecah.

Orang-orang berebutan hendak keluar, mendorong siapapun yang menghalangi jalan mereka.

Kevin menarikku menjauh, menggenggam erat lenganku agar tidak terbawa arus, apalagi terjatuh akibat guncangan yang belum selesai ini.

"Dasar egois." Kevin mendesis murka.

Kericuhan semakin menjadi, diikuti tangis balita. Para lansia hanya bisa pasrah, duduk sembari memanjatkan doa.

Bus berhenti berguncang, dan jantungku seakan berhenti berdetak.

"B-Busnya berhenti? Apakah bantuan akan segera tiba?"

Tidak.

"Mungkin ini pertanda kita semua akan selamat?"

Tidak akan ada yang selamat.

Jika sejak awal mereka tidak bersikap egois, pasti setidaknya ada satu atau dua orang yang nyawanya berhasil diselamatkan.

Aku mengepalkan telapak tanganku erat-erat. Perasaanku campur aduk, antara sedih, takut, dan marah. Tanpa sadar, aku mulai terisak. Air mata yang jatuh bukan semata-mata karena aku ketakutan. Kematian memang tidak pernah terasa sedekat ini. Namun, air mata ini terjatuh akibat amarah yang tak lagi dapat kubendung.

Sekali lagi, bus kembali berguncang. Kali ini lebih keras. Bersamaan dengan gravitasi yang mulai menguap, bus jatuh bebas dari ketinggian tujuh kilometer.

Jeritan terdengar sahut menyahut. Tangis histeris yang pecah. Beberapa menyebut nama Tuhan mereka. Aku tak lagi berharap ketika aku tak lagi dapat merasakan lantai yang kupijak.

Kevin mendekap erat tubuhku. Tangannya melindungi kepalaku dari benturan. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya sendiri, karena aku terlalu takut untuk membuka mata.

Apa pernah kematian berada sedekat ini dengan nadiku?

***TBC***

SyndromesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang