Chapter 05 : Mulai Dengan Kalimat Pertama

266 38 5
                                    

"Selamat datang," ujarnya dalam bahasa asing yang kukenal.

Bahasa inggris.

"Dimana ini?" Kevin membuka suara, nada bicaranya tampak tak suka.

Gadis itu menatap Kevin. Senyum belum luntur dari bibirnya. Alih-alih menjawab, dia justru berkata, "Bukankah kamu sudah tahu?"

Apa maksudnya?

Aku menatap ke arah Kevin. Dia memasang ekspresi yang sulit kumengerti. Namun ada satu hal yang dapat kutangkap dari raut wajahnya, jelas dia sama sekali tidak terlihat senang.

Gadis itu beralih menatapku. Mata biru cemerlangnya membuatku terpukau untuk beberapa saat, hingga aku sadar bahwa ini bukanlah saat untuk terpukau atas keindahan warna mata seseorang.

Dia tiba-tiba saja melangkah mendekat, membuatku refleks melangkah mundur. Senyumnya berubah kecut. "Jadi ... kamu adalah orang itu?"

"Orang itu?" Aku menatap tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Orang yang selalu dicari keberadaannya, diincar oleh semua pihak. Seseorang yang dapat melihat masa depan. Itu dirimu, benar?"

Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya, meski tidak separah saat kejadian bus beberapa waktu lalu. Teringat akan sesuatu, aku segera berkata, "Apakah kamu yang menyelamatkan kami semua saat bus terjun bebas tadi?"

"Kamu tahu, berarti kamu sudah melihat kedatanganku sebelumnya?" tanya gadis itu dengan nada tenang.

Aku mengangguk patah-patah.

Gadis itu mundur beberapa langkah, pandangannya sedikit berubah. Dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat pipih kecil dari saku celananya, kemudian menempelkan benda tersebut di telinga kiri. "Halo, Aland. Aku sudah membawa kedua orang yang kauminta tadi pagi. Apa yang harus aku lakukan terhadap mereka?" Dia bergumam pelan ketika seseorang dari seberang panggilan membalas. "Oke, aku mengerti."

Aku menatap Kevin. Laki-laki itu entah mengapa tampak lebih pendiam dari yang seharusnya. Wajahnya begitu serius, seakan sedang berkonsentrasi.

"Kalian berdua, mari kita bicarakan di dalam saja." Sebelum gadis itu sempat menyentuh pundakku, aku segera melangkah mundur.

"Mengapa kami harus melakukannya?" tanyaku dengan nada menantang. Meskipun dia telah menyelamatkan nyawa kami beserta puluhan nyawa lainnya, tetapi aku tidak bisa sembarang percaya kepadanya. Fakta bahwa dia mengetahui kemampuanku yang dapat melihat masa depan, jelas membuatku menaruh rasa curiga terhadapnya.

"Kamu yakin tidak ingin masuk ke dalam?" Gadis itu memiringkan kecil kepalanya. Rambut biru gelapnya menari bersama embusan angin petang. "Kamu akan menyesal, percayalah."

Baru saja aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba saja Kevin menggenggam bahuku. Lelaki itu tersenyum, mengangguk pelan. "Tidak apa, kita bisa mempercayainya."

Kedua alisku bertaut menjadi satu. "Bagaimana mungkin kamu begitu yakin mengatakan hal itu?"

"Tenang saja. Isi pikirannya sama sekali tidak bermaksud buruk kepada kita."

Jawaban Kevin membuat mulutku ternganga. Apa yang dia maksud?

"Aku akan menjelaskan nanti," bisik Kevin, kemudian tersenyum lebar sembari mengacungkan ibu jari.

Aku mengembuskan napas. Kepalaku terasa hendak pecah mencerna semua ini. Akhirnya, aku bersedia ikut dengan gadis misterius itu.

Gadis itu menyentuh pundak kami berdua, dan sekali lagi cahaya biru muncul. Hanya sesaat. Secepat kilat. Sebelum kami menyadarinya, kami sudah berpindah tempat.

Seperti teleportasi.

Kami muncul di sebuah ruangan yang berukuran tidak terlalu besar, tetapi tidak bisa dikatakan kecil pula. Hanya terdapat satu lemari di pojok ruangan, dan satu meja panjang di tengah, dikelilingi oleh barisan kursi.

Seorang lelaki duduk di salah satu kursi, tersenyum melihat kedatangan kami. "Kalian sudah datang," ujarnya. "Silakan duduk di manapun yang kalian suka."

Aku kembali menatap Kevin. Entah apa alasannya aku menunggu klarifikasi darinya apakah ini aman atau tidak. Lelaki itu mengangguk, mengisyaratkan bahwa kita dapat mengikuti instruksi lelaki asing itu untuk duduk.

Padahal hanya perkara duduk, tetapi kenapa aku khawatir seperti ini?

Aku dan Kevin duduk bersebelahan tepat di hadapan lelaki asing itu. Manik obsidiannya memandang kami lekat-lekat. "Namaku Aland Headkick, kepala dewan di tempat ini," pria bernama Aland itu membuka topik, "jadi, sebelum aku memulai penjelasan, adakah hal yang ingin kalian tanyakan? Aku tahu ini begitu tiba-tiba, dan kalian pasti tidak habis pikir atas apa yang baru saja terjadi."

"Di mana ini?" tanyaku cepat. Pertanyaan yang pertama kali melintas di benakku.

"Kota Schaan, Liechtenstein, sebuah negara di antara Austria dan Swiss. Kamu pernah mendengarnya?"

Aku menegup air liurku, menggeleng. Aku memang belum pernah mendengar negara bernama Liechtenstein ini. Namun mendengar Austria dan Swiss, bukankah kurang lebih saat ini kita berada di Eropa?!

Aku segera menatap gadis yang membawa kami ke tempat ini. Dia ... dapat membawa kami sejauh ini dalam beberapa detik saja?

"Ah, gadis yang membawa kalian ke sini bernama Marine. Seperti yang kalian pikirkan, dia dapat berteleportasi ke tempat yang pernah dia lihat hanya dengan waktu singkat." Aland tersenyum, entah mengapa dia terlihat bangga.

Gadis tadi tampak tidak peduli, menghempaskan dirinya ke salah satu kursi kosong, menaikkan kedua kakinya ke atas meja sembari menatap ke luar jendela.

Senyum bangga Aland pudar begitu melihat tingkah Marine. Lelaki itu memijat pelan keningnya, bergumam pelan, "Sifatnya yang satu itu selalu membuatku sakit kepala."

"Jadi ... mengapa kamu membawa kami ke sini?" Kevin bersedekap, bersender ke senderan kursi.

"Hm? Bukankah kamu sudah tahu?".

"Namun Anise belum tahu," balas Kevin sembari menunjukku dengan ibu jarinya.

"Baiklah kalau begitu, akan aku jelaskan. Namun sebelum itu, biarkan aku mengucapkan sambutan kepada kalian." Aland membuka kedua tangannya, kedua bibirnya tertarik ke atas. "Selamat datang di Calista Academy, Kevin Andersen dan Anise Soraya."

***TBC***

SyndromesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang