Sandi Rahasia

46 8 2
                                    

"Memang benar sih, racun. Tapi kok forensik tidak bisa mendeteksinya...?" Kata kata Heca membuat alam bawah sadarku menyeruak. Beberapa saat, membayangkan kronologis kejadian menurut pemikiran di otakku. Benar... racun... Tapi tak terdeteksi. Apakah mungkin...? Lagi lagi kronologis lain, menyeringai dipikiran ini. Seakan, Angga Bima kini berada didepanku. Melangkahkan kaki, masuk kedalam sebuah gedung dan menaruh tas dan duduk disebuah bangku kayu, berukuran kecil. Dan... Tiba tiba... Meregang nyawa...

"Melamun apa siih...?!"

Aku yang telah memakai seatbelt dan duduk disamping kiri, Heca, terperangah. Kala itu, aku benar benar terkejut, bukan kepalang. Dengam sedikit gelagapan tanpa memandang wajah. "Aku tiba tiba terpikir kronologis, Angga Bima..."

"Masuk. Menaruh tas. Duduk. Mati...! Apakah dirimu tak merasa ada kejanggalan? Seharusnya, ketika seseorang terkena serangan jantung, pastilah ia memegang dada sebelah kiri, tepat dijantung. Tapi, Angga Bima tidak melakukan itu."

"Benar katamu, Ca. Seperti halnya kasus yang kita hadapi ini, korban mati dengan posisi tubuh bagian depan, menyatu pada lantai. Setidaknya, posisi tubuh korban tertelentang dengan tangan memegang dada. Atau...? Aku berpikir sejenak, dan kemudian menyadari bahwa korban bukan terkena serangan jantung, ataupun mati karena terkejut. "Mati lemas...!!!"

"That Easy, kan." Heca tertawa riang. Aku pun tak mau kalah, aku kini seolah mengekor dari tawa Heca. "Hahaha..."

Tak terasa lama untuk sampai ke bandara, apalagi harus menunggu di lobby. Lamunanku dan juga obrolan tentang kasus Angga Bima serta Kasus disekolah Kartini, membuat jarak dan waktu seakan cepat berlalu.

"Pacaran dulu, ya...?" Menarik nafas dalam. Hesa kemudian melanjutkan ucapannya. "Coba lebih cepat datangnya... Pastilah ku kenalkan dengan dua cewek cantik, temanku." Sembari memandang diriku. "Cewek bawel disampingmu, tinggalin aja... dia lewaaat."

"Apa siih...? Baru datang kok langsung ngajakin perang!" Mengerucutkan bibir. "Jangan denger kata dia... cewek cewek temennya itu... kurang cantik dibanding aku..."

"Sudah sudah, ayo jalan..." ujarku menghindari obrolan yang jelas ngga ada faedahnya, sama sekali.

Dimobil, Hesa menyerahkan dokumen yang tebalnya kira kira 30 halaman, -setelah aku lihat dokumen itu, dikamar Hesa, ternyata hanya 15 halaman, bukan 30 halaman.- kepada adiknya. Hesa pun menceritakan prihal kasus yang ia tangani di Australia. Ia mengatakan dengan gamblang, bahwa kasus itu murni, mati karena faktor usia. Ia menceritakan seorang Nenek yang kaya raya, pemilik kekayaan terbesar nomor tujuh di Australia. Berusia 96 tahun, keturunan Cina dengan tinggi 145 sentimeter, berat 35 kilogram. Mati diatas tempat tidurnya. Tidak ditemukan kejanggalan apapun. Saksi mata, yaitu seorang perempuan muda, berusia 17 tahun yang merupakan cucu dari sang nenek, tidak memiliki alasan untuk membunuh. Segala introgasi, tidak menunjukkan titik terang, bahwa sang nenek mati dibunuh.

"Dewi... Aaahh, kalau kau mengenalnya... pastilah, kau mau berlama lama dalam perbincangan dengannya. Dia itu..." Kata kata Hesa terhenti, ketika sang adik mendehem keras. Pandangan Hesa yang dalam kepadaku, walau dari pantulan kaca tengah, kini dialihkan kepada adiknya.

"Fokus nyetiiir." Kata Heca menimbali perkataan sang kakak.

"Oh, iya... Heca bilang, liburan...?"

"Adikku ini... si centil dan bawel... memang suka berahasia. Tapi tak mengapa. Lagian, bagiku kasus diluar negeri adalah liburan paling mengasyikkan... hahahahaa"

Patung BernyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang