Siang dijalan Rudus sekip ujung terasa panas. Terik matahari seolah menjilat tubuh kami. Hawa panas tetap terasa, walau angin berhembus. Bila harus kembali ke mobil kami yang terparkir, maka 200 meter kami harus berjalan kaki. Heca memutuskan untuk memanggil beca. Kami pun kini berada berhimpitan didalam beca. Kedua bahu kami beradu satu sama lain, seakan kami adalah bayi yang terlahir kembar siam. Ku lihat Hesa nampak letih, raut wajahnya mengisyaratkan demikian.
"Lain waktu, turuti kata kataku. Lihatlah dirimu sekarang, Ca. Wajahmu itu tak ubahnya seperti ikan yang sengaja dijemur dibawah terik matahari."
Keringat disekanya dari wajah yang kian memerah. "Iya, iya..." katanya menyahuti perkataanku. "Eh.. Kau tidak tergerak untuk sekedar bertanya basa basi tentang kasus ini?" tanyanya.
"Ku rasa bukan waktu yang tepat." Kataku. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah berbeda, karena beberapa saat mata kami berdua beradu pandang.
"Kau memang tak mau belajar dari temuan kita. Ayolah belajar, karena aku ingin kamu kelak bisa membantuku dalam memecahkan kasus. Harapanku besar kepadamu." kata Heca.
"Kau sudah berlebihan memandang aku. Aku tak sepintar yang kau bayangkan, Ca." Kataku padanya. "Setidaknya, aku mengucapkan terima kasih karena ekspektasimu besar untukku. Dan aku akan mencoba untuk mewujudkan harapanmu itu."
Senyum bahagia terukir diwajahnya. Kulihat Keringat yang berkali kali diseka, kini dibiarkan mengalir melewati dagunya. Aku bertanya kembali kepadanya prihal Nanda dan Mahmud yang terdiam ketika ia bisikkan sesuatu.
"Kamu pasti cemburu ya...?!"
Ketika aku menoleh kepadanya untuk menjawab... Ia memegang kepalaku dan didekatkan ke kepalanya. "Lihat mataku... Aku ini punyamu. Aku tidak akan mungkin dengan selain dirimu!." Katanya.
Aku tak tahu mengapa aku cuma bisa terdiam. Dan membiarkan saja mataku dan matanya saling pandang begitu lama, dengan jarak begitu dekat pula.
"Sudah sampai, tuan." Kata tukang beca, yang kemudian menyadarkanku.
"Ca..." kusingkirkan tangannya dengan perlahan, seolah tak berani bila harus berprilaku kasar. Ia tersenyum sumbringan dan gestur ceria mengiringi langkahnya kedalam mobil.
Keheningan didalam mobil berhasil dihilangkan olehnya. Ia bertanya kepadaku prihal pemikiranku pada posisi mayat yang tertelungkup, kertas yang ditemukan, dan tulisan yang tertera di kertas, serta turunan kimia yang berbahaya. Obrolan yang panjang itu harus kami akhiri, karena kini aku harus meminta Heca memarkir mobilnya didepan masjid, karena lelaki sepertiku haruslah sholat jum'at.
Setelah usai Jum'atan. Kami kembali melanjutkan obrolan ringan didalam mobil. Kemudian obrolan semakin panjang sampai kami pun mulai menyadari bahwa kami telah sampai dirumah Fibonacci's.
Adriani Bayer membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Salam sapa kami lakukan. Ibu dari Heca dan Hesa ini memiliki lesung pipi yang sama dengan anaknya. Tidak banyak perbedaan yang mencolok dari Ibu dan anak ini. Warna kulit sepertinya yang berbeda, dan sang ibu lebih tembem dibanding Heca. Kalaulah bentuk tubuh dijadikan ukuran, maka... selayaknya seorang yang berusia dewasa, pastilah lebih besar dari anaknya. Tapi aku meyakini bahwa Asiram-Ayah Fibonacci's- lebih menyukai kepintarannya. Karena seseorang yang pintar akan mencari orang yang pintar pula, untuk menjadi pasangan hidupnya. Itu lumrah kurasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patung Bernyawa
Misterio / SuspensoBuku ke 2 Detective Fibonacci's menceritakan tentang "Patung Bernyawa" yang ada dikantor kepala sekolah. "Saya menduga patung itulah yang membunuh Pak Efrin Hasra...! Patung itu bergerak, jelas bergerak... Tidak ada yang memungkiri kata kata ku ini...