JBIG

47 5 0
                                    

Aku dan Heca Fibonacci bertemu Nanda dan Mahmud didepan gerbang masuk sekolah ini. Pagar geser yang sebelumnya terbuka seukuran tubuh, kini dibuka lebar, seolah ribuan orang akan masuk dengan berbondong bondong. Kami segera mengucap salam dan berbincang sekenanya. Heca berbisik lirih kepada Nanda dan kemudian pada Mahmud. Ucapannya tak terdengar ditelingaku. Seperti sengaja tak membiarkanku mendengar apa yang dibisikkannya kepada mereka. Terlihat wajah mereka mengeras dan kaku. Persis seperti penjahat yang bersiap untuk difoto, karena terbukti melakukan kejahatan.

Heca melirikku dengan kerlikan mata memberi tanda untuk mengikutinya masuk. Seperti sapi yang ditusuk hidungnya dan di ikat tali, aku pun serta merta mengekor pada Heca. Mengikuti langkahnya berlenggak lenggok dan menyusuri lapangan yang luas. Lapangan yang terbagi dua. Dipisahkan oleh bangunan tengah yang merupakan ruangan UKS, Perpustakaan, Ruang kepala sekolah dan staff guru. Bangunan tengah itu menyatu dengan ruangan kanan yang bertingkat dua, serta ruangan kiri depan yang dipenghujung ruangan menyatu lagi dengan ruangan pojok kiri yang bertingkat dua. Perabotan lengkap untuk siswa dan ventilasi baik, menambah suasana nyaman terlihat dari luar.

Bangunan sekolah tersebut begitu menarik dalam segala hal, apalagi bila tidak ada kasus menghebohkan disini. Akreditasi A dalam skema mendidik siswa, pastilah menjadi dasar prioritas orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Tak terasa kaki kami telah melangkah mengelilingi bangunan bersarana dan prasarana 20 ruangan. Tampak suasana lengang tersaji sampai disudut bangunan. Hirup pikuk siswa SD, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6, kini tak terlihat apatah lagi terdengar disini. Hanya desir angin dan panas matahari berpadu membentuk kesejukan semu terpapar disini. Adalah Heca yang riang, berkeliling bak anak kecil menemukan keceriaan dibalik kekangan yang terlepas. Ia berurutan menghitung ruang kelas dengan seksama. Tersenyum dan tertawa melihat mading yang ditempel bunga, profil siswa berprestasi dan guru teladan serta gambar balon balon tiup ditepi tepinya. "18 ruangan belajar-mengajar." Katanya dengan mimik muka puas.

Akhirnya, Ia terhenti dan keanehan wajahnya membuatku berpikir keras. "Ada yang aneh, Ca?." Kataku dengan penuh tanya. Beberapa saat aku menunggu jawaban, namun mulut itu tak terbuka jua. Lirikan seram terlempar dari dirinya yang mencoba membungkamku dengan tatapan marah. Suara parau dari mulutnya memecah kesunyianku dan membuat rasa merinding disekujur tubuhku. Dua tangan terjulur kedepan dengan pergelangan yang menyuntai tak bertenaga, dihadapkan padaku. Aku berjalan mundur, setelah ia maju perlahan menghampiri. Sorot mata menggeliat keluar, dengan langkah sayu dan mulut yang bergerak gerak penuh kegeraman, mengingatkanku pada sosok mayat hidup yang terdapat dalam film Resident Evil.

"Hei ada apa ini...! Kau jangan bercanda, Ca!" Tukasku. Ia terus bergerak mendekatiku dengan gestur yang sama. Membuatku mundur teratur dengan jantung yang berdegup tak menentu. Ia dekat dan semakin mendekat. Wajah cantik itu menjadi seram dan menakutkan. Suara parau menyeruak bersama langkah yang semakin cepat. Aku membalikkan tubuh, berusaha berlari untuk menghindar.

Duup... "hahahaaa... takut yaaa?" ucapnya sembari mendekapkan kedua tangannya, melingkar ditubuhku.

"Aaah, kamu... Caaa. Kirain, beneran kerasukan! Lepas...! Bukan mahrom."

Ia melepas pelukan, dan merapikan bajunya yang kusut setelah mendekapku dari belakang, sesaat tadi. "Jadi kusuuut." Tuturnya sembari tersenyum centil.

Aku melangkah bersamaan dengan derap langkah yang mencoba mendahului langkahku. Kaca kaca ruang kelas 5 memantulkan bayangan tubuh dua insan berbeda. Rambut terurai dibenarkannya, tanpa memperlambat gerak kaki yang mencoba mendahului. Sesekali lebih depan dan sesekali tertinggal dibelakang. Bagaikan pacuan kuda, mungkin lebih tepat ditujukan pada kami. Sekelebat Heca memasang badannya menikung menghalangi langkahku. Ia membentangkan kedua tangannya, mengecutkan bibir dan menyorotkan pandangannya tepat dimataku. "Kau marah ya...?!"gertaknya sambil bertanya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah kekanak kanakannya mulai muncul. "Kau mau kemana...? Kok tak hiraukan aku...? Seharusnya tanya dong, kenapa aku berbuat begitu padamu? Tanya dong?" ucapnya lagi.

Patung BernyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang