Teka-teki Mawar Putih

16 1 0
                                    

Sesudah Lisa dan Boby memesan kue, mereka membeli bahan-bahan untuk mendekor taman belakang rumah Lisa di hari ulang tahunnya nanti. Hal ini tentu saja sangat bermakna untuk Lisa. Apalagi ia baru saja memutuskan untuk membuka hari barunya pagi tadi. Dan sekarang ada Boby yang menemani hari-hari itu. Akan berwarna. Pasti lebih berwarna.
"Udah semua deh kayaknya Bob..." Lisa mengecek kembali barang-barang yang sudah di belinya tadi.
"Jadi balik nih?"
"Iya. Gue masih harus hubungin temen-temen gue buat ngundang mereka. Terutama dresscodenya pasti mereka bakalan banyak nanya."
"Ok." Sebenarnya Boby ingin mengajak Lisa pergi ke suatu tempat yang spesial baginya, namun sepertinya Lisa memang harus pulang. Mengingat pasti Lisa sudah sangat lelah untuk mengurus ini dan itu bersamanya hari ini.
...
"Selamat Istirahat nona."
"Terimakasih mas ojek." Lisa memberikan tepukan pelan di bahu Boby. Yang kemudian di raih Boby dengan sangat cepat.
"Semangat ya... Pasti bisa kok." Boby menepuk tangan Lisa dengan tangan kanannya, dan disambut dengan anggukan Lisa yang dibarengi senyuman hangatnya.
"Gue masuk ya."
"Ok. Selamat malam." Boby menyalakan mesin motornya dan berlalu meninggalkan Lisa yang masih berdiri memandangnya sampai motornya tidak terlihat karena sudah memasuki rumahnya.
...
"Hariku yang ini kuberi warna kuning. Karena semesta sudah memberikanku keceriaan dan kebahagiaan.
Mulai hari ini, aku akan memberi warna hari-hariku. Supaya kali ini aku benar-benar yakin, hari-hariku sudah berbeda. Bukan lagi warna hitam kelam yang penuh dengan kehampaan dan duka." Lisaa menutup catatan hariannya yang sudah lama di simpan olehnya. Dan mulai malam ini buku itu akan menjadi teman Lisa kembali. Setelah dua tahun yang cukup panjang.

Hari-hari terus berlalu. 17...18...19...20. H-1 birthday party Lisa dilaksanakan. Mama dan papa Lisa sudah sibuk dengan segala persiapan untuk acara itu. Maklum, mereka biasa menyelenggarakan sebuah acara tanpa bantuan orang-orang pekerja. Karena memang para tetangga komplek rumah Lisa tersebut memiliki solidaritas yang cukup tinggi. Terutama para ibu-ibu rumah tangga.
"Lagi dimana Van? Bisa kerumah gue sekarang gak? Bantuin Fian nyusun panggung kecil?"
"Oh... lagi gak sibuk sih. Bentar lagi gue jalan."
"Ok."
...
"Besok ulang tahun dia tan..." Vano bicara dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya.
"Apapun rencana kamu, tante percaya. Yang penting tante sama om kamu bisa pergi ke kalimantan bulan depan. Tante gak mau kenangan di rumah ini terus-terusan menghantui kami dan membuat kami terus menyesal dan merasa bukan orang tua yang baik buat dia."
"Iya tan... Vano bisa ngerti. Semua udah Vano siapin kok. Vano sekarang harus ke rumah dia. Dia butuh bantuan untuk acara besok." Vano bangkit dari tempat duduknya dan berpamitan dengan wanita itu.
...
"Boby. Vano yang gue ceritain waktu itu lagi jalan kesini. Biar bisa bantuin lo ngurusin panggungnya ntar."
"Oh... ok." Boby tidak biasanya menjawab sesingkat itu pada Lisa.
"Lo lagi gak enak badan ya?"
"Engga kok... gue laper."
"Hahaha... ya udah, yok bareng gue sini."
Setelah Boby dan Lisa makan siang, Lisa berusaha menghubungi Vano yang dari tadi belum muncul juga .
"Mana?" Boby mengagetkan Lisa yang sedang berusaha menghubungi Vano dari tadi.
"Gak di angkat-angkat nih." Wajah Lisa tampak cemas. Khawatir terjadi apa-apa dengan Vano.
"Lo udah share lokasi kan? Ntar dia tersesat lagi."
"Udah kok. Udah gue kirim sebelum kita makan tadi."

Ding...
~Vano
"Bentar ya Lis. Gue angkat telepon dulu." Boby pergi meninggalkan Lisa yang sedang duduk ditemani rasa cemasnya di taman siang itu.
"Ok."
...
"Tinggalin di depan aja. Ntar gue yang ambil. Lo langsung temuin dia aja di taman." Boby berusaha mengeluarkan suaranya sekecil mungkin agar tidak ada seorang pun yang mendengar pembicaraannya dengan pria di seberang telepon itu.
"Ok. Thank's ya, lo udah mau bantuin gue."
"Buat Lisa semuanya bakal gue lakuin. Bahkan kalo emang gue harus berkorban, gak ada satu orang pun yang bisa cegah gue. Makasih." Boby menutup telepon itu sambil berjalan menuju pintu depan rumah Lisa.
...
"Hai Lis!"
"Heiii... lo kok lama banget sih? Gue kirain lo kenapa-napa di jalan tadi."
"Engga. Tadi beli ini dulu buat lo. Ya permintaan maaf gue karena beberapa kali udah bersikap gak sopan ke lo." Vano memberikan bunga untuk Lisa. Bunga yang sama dengan bunga terakhir yang Fian berikan untuknya. Lengkap dengan pembungkusnya. Mawar putih dibalut karton hitam. Persis dengan apa yang Fian berikan untuknya terakhir kali sebelum ia menghilang.
"Kenapa?" Lisa tidak tahu lagi harus mengeluarkan kata-kata apa dari mulutnya. Kenapa di saat dia sudah bertekad melupakan Fian, ada yang malah berusaha mengingatkan dia dengan Fian.
"Apaan?"
"Kenapa mawar putih? Pembungkusnya kenapa hitam?"
"Lah? Yang ada itu gimana? Gue tadi nanya sama mbak-mbak yang jualan. Saya mau kasih bunga buat seseorang mbak. Besok dia ulang tahun. Tapi saya kasih bunganya hari ini. Eh si mbaknya langsung bilang bunga ini. Ya udah gue bilang ok. Salah?" Vano begitu hebat merangkai semuanya. Tersusun rapi. Tidak ada celah yang ia kosongkan untuk menempatkan beberapa kalimat.
"Hoi!!! wah... ini nih yang dari tadi di tungguin sam Lisa. Boby." Seraya mengajak Vano bersalaman untuk berkenalan.
"Vano... udah lama bro? Apaan nih yang harus gue bantu?"ucap Vano sambil merangkul Boby yang berdiri tepat di sebelahnya.
"Yuk... ikut gue. Panggungnya agak susah sih nempatin..." Boby dan Vano lekas pergi meninggalkan Lisa yang masih heran dengan apa yang ia terima di tangannya.
...
Lisa menempatkan bunga itu di tempat yang paling aman. Kemudian ia menyusul Vano dan Boby yang sedang sibuk dengan panggung kecil di taman.
"Kalau gak sanggup tungguin saudara-saudara gue aja. Bentar lagi juga mereka sampai kok."
"Oh... family lo juga ada yang datang?"
"Iya. Ada beberapa. Jadi gak usah terlalu lo pada paksain."
"Udah. Gak papa. Gue sama dia cek dulu aja. Takutnya ada papan yang gak kuat dengan berat badan lo kan gawat." Boby mengatakan hal itu sambil terus melihat panggung kecil itu. Siapa tahu ada paku yang kurang menancap ataupun papan yang tidak kuat.
"Maksud lo gimana? Gue gendut?"
"Gue gak bilang gitu. Lo sendiri yang barusan buat pernyataan."
Lisa berlalu meninggalkan dua pria yang sedang sibuk dengan panggung yang mereka siapkan.




Pertama untuk BersambungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang