"Udah lo siapin semua?" Boby bertanya kepada Vano dengan sangat hati-hati. Seperti berusaha agar orang disekitarnya tidak akan bisa mendengar apa yang ia katakan.
"Udah. Besok gue kasih. Lusa dia udah tau semuanya. Kasihan juga dia, kalau terus-terusan di hantui rasa bersalah yang padahal dia sendiri gak tahu apa yang jadi kesalahan dia.
"Gue juga. Capek. Kalau lo jadi gue, pasti lo juga capek." Vano mengerenyitkan dahinya. Ia merasa bahwa apa yang Boby katakan barusan adalah curahan hatinya selama ini.
"Maksud lo? Jadi lo capek nemenin dia? Dengerin keluh kesah dia? Dalam jangka waktu yang selama itu Bob?"
"Bego! Ya enggaklah. Ada satu hal tentang masa lalu dan masa sekarang tentang gue yang lo gak tahu. Ini semua berkaitan sama masa depan gue. Gue udah nyiapin semuanya. Fian adalah orang pertama yang bisa dapetin Lisa. Ada banyak laki-laki yang suka bahkan ngejar-ngejar Lisa dari dulu. Tapi semua dia tolak kecuali Fian." Boby berusaha mengingat masa lalunya tentang Lisa.
"Kenapa? Papa dia ngelarang dia pacaran?"
"Emmm... enggak. Semua itu karena gue."
"What?"
"Gue gak mau Lisa lebih perhatian ke orang lain dari pada perhatian gue. Gue juga gak mau Lisa disakitin sama laki-laki yang Lisa sendiri belum tahu, apakah cowok ini baik buat dia atau malah sebaliknya. Gue juga gak mau ada yang milikin Lisa seolah-olah Lisa itu udah istri dia, yang harus ngikutin omongan dia. Gue tahu gue egois, berlebihan, terobsesi dengan rasa ingin memiliki. Sampai akhirnya Fian muncul. Dia sama sekali gak buat Lisa jauh dari gue meskipun mereka ada urusan dan sebagainya. Fian selalu hubungin gue kalau mau jalan bareng Lisa. Dan Lisa selalu cerita kalau Fian bisa buat hari-hari dia penuh warna. Sampai akhirnya mereka jadian. Gue sama sekali gak ngerasa ada yang berubah dari Lisa. Kadang emang dia bisa batal janji sama gue. Tapi pasti dengan alasan yang masuk akal. Kadang malah Fian yang minta maaf kalau mau ngajak Lisa jalan dan harus batalin janji ke gue. Tapi jujur gue kecewa. Gue gak tahu musti deskripsiin gimana perasaan gue waktu tahu kalau Fian ninggalin Lisa gitu aja. Gak ngabarin dua, tiga hari menurut gue masih oke-oke aja. Tapi sampe dua tahun No, dua tahun. Sejak saat itu, gue janji dalam hati gue. Bahkan gue udah komitmen. Gak akan ada lagi laki-laki yang boleh bahagiain Lisa selain gue. Gue gak sanggup kalau musti liat dia nangis. Luntang-lantung gak jelas. Berat." Boby menjelaskan semuanya. Semua kepada Vano. Walau hanya beberapa bagian yang ia ceritakan, Vano sudah mengerti tujuan dan arah dari pembicaraan ini.
"Tapi, setelah gue ketemu lo dan tahu ceritanya bakalan gini, gue jadi merasa bersalah. Jujur." Ucap Boby lagi.
"It's ok Bob. Gue ngerti kok maksud lo. Perhatian dan perasaan lo buat Lisa. Sebentar lagi. Sebentar lagi Lisa bakalan tahu semuanya."
"Ok... yuk kita geser. Udah beres nih kayaknya." Ujar Boby yang sedang berusaha menyudahi obrolan mereka saat itu.
...
"Lisa, gue balik duluan ya. Sampai ketemu besok."
"Yah... kok buru-buru banget Van? Makan juga belum." Kata Lisa meminta agar Vano lebih lama lagi berada di rumahnya.
"Gue gak enak sama mama gue, dia kasianlah kalau harus nunggu gue sampai malem banget."
"Iya juga sih... ya udah deh. Makasi banyak ya atas bantuannya malam ini, dan bunganya juga. Hehehe..."
"Iya sama-sama. Gue jalan dulu ya." Pamit Vano pada Lisa.
"Ok. Take care."
Malam ini Boby tidur di rumah Lisa. Karena matanya sudah tidak sanggup lagi kalau harus berjalan dari rumah Lisa ke rumahnya. Seperti biasa, Lisa memberikan selimut untuk sahabatnya itu, karena Boby harus tidur di ruang depan tv.
...
00:00
Drrrtttt...drttttt...drrrrtttt...drrrrtt...dddrrrttt
~Selamat Lisa. Happy birthday.
Nampaknya tanggal sudah berganti. Makanya alarm Lisa terus berbunyi untuk tanda hari ulang tahunnya telah tiba.
"Wahhh... sudah bunyi ternyata. Trimakasih Tuhan untuk umurku yang bertambah dan kenikmatanku yang berkurang. Semoga hari-hariku bisa lebih berwarna dan aku semakin mampu menyikapi setiap persoalan yang engkau berikan." Lisa berdoa di atas ranjang kamarnya. Untuknya 19 tahun ini sangat berarti. Persoalan-persoalan hidupnya yang tidak bisa ia tanggung sendiri dan selalu ada orang yang menemaninya kala ia kesusahan. Boby.
...
Lisa bangkit dari tempat tidurnya dan langsung turun untuk menemui Boby. Karena ia penasaran kenapa Boby tidak membangunkannya tepat di jam 00:00. Namun di luar dugaan. Listrik rumah Lisa padam. Ia sedang berusaha menuruni tangga dalam keadaaan yang gelap.
"Lis... kamu udah bangun? Teriak seorang pria dari balik tembok dapur rumah Lisa.
"Udah pa. Gelap banget, Lisa lagi di tangga."
"Happy birthday Lisa...Happy birthday Lisa..." Mama dan papa Lisa memberikan suprise kecil-kecilan untuk Lisa. Make a wish kemudian meniup lilin. Ada satu yang kurang di benak Lisa. Boby. Ia tidak ada. Tidak ada. Tidak muncul sampai papa Lisa nmenghidupkan kembali lampu rumahnya.
"Mungkin dia udah pulang tadi." Benak Lisa berbicara dan menyimpulkannya sendiri tanpa menanyakan kepada kedua orang tuanya tentang Boby.
"Ma.. Pa.. Lisa naik ya. Makasih banyak ya..." Lisa mencium pipi kedua orang tuanya sambil mengucapkan terimakasih untuk suprise yang sudah diberikan untuknya.
Namun ketika Lisa berbalik badan karena sudah memastikan pintu kamarnya terkunci, dia dikagetkan dengan kamar yang penuh dengan mawar merah. Dan lilin melambangkan hati. Seolah tidak percaya Lisa membungkam mulutnya dan mendekat ke arah lilin-lilin yang menyala itu. Ada suara seseorang yang begitu ia rindukan...
Fian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertama untuk Bersambung
Roman d'amourApakah semesta tahu mampu ku? Mampu mu? Mampu K I T A?