Pemandangan sebuah kantor megah dan luas, dengan dinding berwarna krem lembut dan karpet tebal berwarna senada yang menutupi lantai. Ada sofa hitam di sisi ruangan dengan meja kayu pendek, sementara meja tinggi bulat yang terlihat kukuh dengan kursi hitam berada di dekat pintu masuk. Lemari kaca besar terpasang di belakang meja. Sang pemilik ruangan, Max, berdiri menghadap jendela dengan kerai terbuka. Menampakkan pemandangan luar gedung yang samar-samar.
Sudah seminggu ini ia merasa gundah. Ada banyak hal yang dipikirkan selain pekerjaan. Keluarga dan urusan pribadi, membuat konsentrasinya terbagi. Kegalauan membuatnya tanpa sadar sering mengulurkan tangan untuk menyugar rambut. Ia hanya menoleh sekilas saat handphone bergetar di atas meja.
Terdengar ketukan di pintu, tak lama muncul sesosok laki-laki berpenampilan luar bisa keren. Berjas putih dengan celana senada, dan anting kecil terselip di telinga kiri. Tampan dengan dagu licin dan wajah bersih, nyaris terlihat seperti perempuan dengan rambutnya yang dicat pirang madu.
"Hai-hai, Max. Daydreaming?" sapanya dengan senyum tersungging. Lengannya menangkup setumpuk dokumen dan meletakkannya di atas meja.
"Ada apa?" tanya Max dengan enggan.
Laki-laki berjas putih hanya mengangkat bahu. "Your father gave it to me. Just look at it."
Max melangkah ke arah meja, dan meraih dokumen yang berisi foto-foto seorang wanita dalam berbagai pose. Cantik, meski terlihat sangat kurus. Foto yang terakhir, saat sang wanita sedang berada di sebuah restoran, diambil dari posisi yang pas sehingga menonjolkan wajah cantiknya.
"Her name is Amarisa, satu-satunya anak perempuan dari keluarga miliarder penghasil rokok nomor lima terbesar di Indonesia," terang laki-laki berbaju putih. "Dia melihat wajahmu, saat tidak sengaja tertangkap kamera wartawan di acara ulang tahun Violet. Lalu, keluarganya mengajukan semacam proposal untuk pernikahan kalian berdua."
Max menghela napas dan membuangnya kasar. Kekesalan jelas terlihat di wajah tampan dengan rahang kuat itu.
"Steve, kamu jelas tahu posisiku. Kenapa tidak membantu menjelaskannya pada Papa?" ucapnya pelan, dan meletakkan foto-foto itu kembali ke atas meja.
"I couldn't, my brother. Karena bagaimanapun, posisi mereka lebih kuat dari kita." Dengan senyum prihatin, Steve menepuk bahu Max sebelum melangkah menuju pintu. "Oh ya, pertunangan di Hotel Berlian, dua minggu dari sekarang. Aku sudah siapkan undangan."
"Kenapa tidak kamu siapkan saja sekalian kostumku?" sergah Max kasar.
Steve tersenyum. "Demi Violet, Brother. Lakukan saja."
Max tidak menjawab. Kembali melangkah menuju jendela, setelah sebelumnya menyambar rokok dari atas meja. Gumpalan asap mengurung wajahnya. Sudah pukul sembilan malam dan ia tidak ingin pulang. Mencari jalan keluar, agar bisa lepas dari pertunangan yang tidak diinginkannya. Sang papa dan ego untuk mengatur hidupnya sudah melebihi batas. Ia akan bertindak, meski di satu sisi ia sedih karena satu-satunya wanita yang ia inginkan justru tidak ingin bersama dengannya.
♥♥♥
Kemarahan menggelegak dalam diri Jovanka. Layaknya api membara dalam sekam, ia ingin menghanguskan bangunan dengan rasa marah. Setelah memarkir motor di teras rumahnya yang mungil, tanpa mencopot helm, ia setengah berlari menuju ruang tengah. Yakin jika papa dan mamanya berada di sana. Benar dugaannya, sang mama sedang asyik menonton TV sedangkan sang papa sibuk mengotak-atik handphone. Keduanya terkejut dengan kedatangan Jovanka, yang masuk tanpa mengucap salam.
"Jo, sudah pulang? Tumben enggak ucap salam?" tegur sang mama, Ningrum.
Tanpa basa basi, Jovanka mengambil remote dari atas meja dan mematikan TV. Perilakunya membuat kedua paruh baya itu melongo.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PENGANTIN BAYARAN
RomanceSetelah dikhianati sang tunangan dan demi melunasi utang, Jovanka setuju untuk melakukan kawin kontrak dengan Max Vendros yang sedang mencari istri sementara agar dapat menggagalkan perjodohan yang diatur orang tuanya. *** Diharuskan membayar utang...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi