Seminggu semenjak peristiwa di ruko, Mahendra gencar menghubunginya, selain memohon untuk tetap menikah dengan Jovanka, dia juga berjanji akan memberi uang yang lebih banyak lagi. Semua pesan yang masuk ke handphone membuatnya menggeretakkan gigi.
Akhirnya, setelah memikirkan masak-masak solusi untuk memecahkan masalah keuangnya, ia menguatkan hati dan mengesampingkan rasa malu untuk mendatangi kepala bagian keuangan, Bu Nina yang terkenal galak. Semua ia lakukan demi keluarganya. Tidak mungkin menjual rumah, sang papa juga tidak dapat lagi meminjam uang di kantornya karena sudah ada cicilan untuk biaya kuliah si adik. Niatnya meminjam dua ratus juta pada perusahaan dan seratus juta dari utang tersisa akan ia cari nanti, itu juga kalau perusahaan mau meminjamkan.
Saat pegawai lain keluar kantor untuk makan siang, Jovanka mengetuk pelan pintu kantor Bu Nina. Ia tahu, sang akuntan tidak pernah makan di luar.
"Ada apa, Jo? Tumben enggak makan siang?" tanya Bu Nina heran. Ia melangkah ke arah dapur dengan Jovanka mengikuti di belakang.
"Mau ke mana, Bu?" tanyanya heran.
"Cuci ini." Bu Nina mengacungkan seperangkat peralatan makan.
Staf keuangan ternyata berbagi dapur dengan pejabat tinggi. Terdapat meja stainless mengilat, yang ia yakin belum pernah digunakan untuk memasak, dan rak-rak kukuh berwarna pastel tergantung di dinding. Bu Nina membuka keran, mengguyur peralatan makan dan mulai membasuh dengan sabun.
"Jojo, ada apa? Kok, diam saja?"
Jovanka menekuk jari, menyandarkan tubuh pada meja di samping wastafel. Ia merasa tidak enak, tetapi harus bicara. "Saya mau mengajukan pinjaman uang, Bu."
Bu Nina sedikit terkejut. Ia menghentikan kegiatannya dan memandang Jovanka.
"Berapa, Jo?"
Jovanka menggigit bibir, wajahnya memanas karena malu. "Dua ratus juta, Bu."
"Wow!" Bu Nina bersiul pelan. "Itu banyak sekali, Jo. Aku tidak yakin perusahaan akan mengeluarkan uang segitu banyak untuk kamu."
"Bu, tolonglah. Ini menyangkut masa depan saya."
"Entahlah, Jo. Karena ini menyangkut uang yang sangaaat banyak."
Jawaban Bu Nina membuat semangat Jovanka merosot. Perusahaan adalah tempat terakhir ia meminta bantuan. Jika mereka tidak bisa, lalu siapa yang akan membantunya?
"Hei! Kerannya macet. Oh my God, mana tanganku belepotan sabun," ucap Bu Nina panik. Memutar keran dan tidak ada air yang keluar.
Jovanka berdiri sigap. Meminta Bu Nina minggir dan mulai memeriksa keran. Ia sedikit mengerti tentang perbaikan alat rumah tangga, karena sang papa adalah mandor bangunan yang hebat. Sejak kecil, papanya sering mengajarkan tentang mengutak-atik peralatan. Wanita itu berjongkok di bawah wastafel. Memeriksa slang air yang terlihat menggembung karena macet. Ia menarik laci dan menemukan pisau. Kembali berjongkok untuk mengetuk slang dengan pisau. Terdapat sambungan slang yang rusak. Kembali ia berdiri untuk mengambil isolasi hitam. Mencopot sambungan dan ... air tanpa terduga mencipratnya.
"Jojo, kamu basah. Tinggalkan saja, biar Pak Yanto yang melakukan."
"Enggak, Bu. Ini dikit lagi."
Jovanka terus bekerja di bawah wastafel, sedangkan Bu Nina berdiri di belakangnya. Mereka tidak sadar, jika sepasang mata biru mengawasi tingkah laku mereka di samping pintu dapur di ujung lorong yang menuju ruang direksi.
"Yes, akhirnya bisa juga, Bu!" teriak Jovanka, saat keran kembali berfungsi. Blusnya basah dan memperlihatkan lekuk tubuh bagian depan.
"Nanti kamu ganti baju, Jo. Ada bawa ganti, kan?" tanya Bu Nina.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PENGANTIN BAYARAN
RomanceSetelah dikhianati sang tunangan dan demi melunasi utang, Jovanka setuju untuk melakukan kawin kontrak dengan Max Vendros yang sedang mencari istri sementara agar dapat menggagalkan perjodohan yang diatur orang tuanya. *** Diharuskan membayar utang...
Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi