"ketika sebuah sekenario mempertemukan kita di waktu yang salah. Apakah ini takdir? Atau malah jadi petaka?"
— B A B 3 : C A N D Y T U F T —
.......
"Masuk ...." Hanya itu yang ia ucap tanpa menoleh sedikitpun dari mana ketukan itu berasal.
"Selamat sore, Pak. Saya ... yang membuat pengaduan kasus tabrak lari. Ayah saya ... korbannya."
Alfian melepas penanya.
Tunggu ... suara ini? Apa mungkin?Cukup lama. Dua pasang mata itu saling memandang. Seakan membeku pada tempatnya. Tarikan napas pun ikut tertahan. Mencoba mengorek kenangan lama, yang sudah jauh terkubur di relung jiwa.
Elyssa menggigit bibir. Tak disangka. Wajah yang sangat ia hindari, kini termangu di hadapannya. Pertemuan tak terduga yang entah berwujud takdir atau malah sebuah petaka.
"Kamu ...." Alfian membuka suara. Namun, terhenti begitu saja. Elyssa mendekatkan diri padanya. Ia yakin seratus persen, gadis di hadapannya tidak sedang baik-baik saja. Gadis itu masih tampak sama. Kulit luarnya masih sekeras baja. Pandai menyembunyikan perasaan yang entah bagaimana sekarang hancurnya.
"Aku ... tidak menyangka kita ...."
"Apa kabar?" potong Alfian, berusaha mengenyahkan canggung dengan cepat.
Elyssa tersenyum tipis. "Baik," katanya.
"Kamu ...." Dua suara kembali bersua. Melebur menjadi satu irama. Keduanya lalu tercenung. Elyssa menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga. Mengulum bibir beberapa kali, sedangkan Alfian memilih membuang muka.
Lelaki itu menatap langit-langit ruangan. Angannya kembali pada peristiwa dua belas tahun silam. Telinganya berdengung. Suara wanita meminta tolong memenuhinya. Begitu sakit yang ia rasa.
Dua belas tahun lalu. Elyssa pernah menjadi korban pelecehan seksual saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu, Alfian baru saja jadi siswa pindahan di Sekolah Menengah Atas yang kebetulan satu gedung dengan sekolah Elyssa. Kondisinya saat itu tidak memungkinkan untuk ia membuka suara. Apalagi, karena Tuan Fransiskus yang mengangkatnya menjadi cucu, menaruh harapan besar di pundaknya. Alfian bukan berasal dari Jakarta. Lelaki kelahiran Pematang Siantar, beberapa ratus meter dari kota Medan itu, hidupnya tak seberuntung sekarang.
Ia hanya anak seorang petani teh. Ibunya menjajakan makanan khas Medan di warung kecil depan rumah.
Tuan Fransiskus yang merupakan seorang hakim kala itu, melakukan kunjungan ke daerah tempat tinggalnya. Entah bagaimana kisah itu bermula, Tuan Fransiskus sangat bersemangat setelah melihat Alfian. Mengangkatnya menjadi cucu dan membawa Alfian ke Jakarta. Benar saja. Alfian kini bisa mengikuti jejaknya. Menegakkan keadilan.
"Aku tak menyangka, sekarang kamu-"
"Jadi jaksa?" potong Alfian lagi. Elyssa mengangguk dua kali.
"Ceritakan padaku ... pada saya apa yang terjadi."
"Aku ... aku sudah lupa. Itu ... peristiwa lama." Elyssa terbata.
"Ah, bukan. Bukan 12 tahun lalu. Bukan itu. Ceritakan tentang ... kecelakaan itu."
Elyssa menarik napas dalam-dalam. Ia menyalangkan tatapan pada Alfian. Memilih menyandarkan punggung pada kursi. Kedua tangan ia lipat di depan dada. Tidak. Ini bukan saatnya untuk membalas perlakuan laki-laki pengecut di hadapannya. Biar bagaimanapun, Alfian harus menangkap pelaku pembunuhan ayahnya.
Elyssa mengembus napas. Mencoba lebih tenang dan mulai menceritakan setiap detail kejadian. Air matanya tumpah di sela-sela kalimatnya. Sementara Alfian, hanya bisa mendengarkan dengan saksama. Ia harus profesional saat bekerja. Menyampingkan perasaan ingin mendekap dan menenangkan Elyssa, ia mencoba bersikap apatis senatural mungkin. Biarlah gadis itu menilai buruk tentangnya. Kredibilitasnya sebagai jaksa adalah hal yang utama.
"Penyidik kami menemukan rekaman CCTV di ruang ICU. Ada perawat yang menyelinap masuk sesaat sebelum korban tewas."
"Tunggu. Apa kamu nggak bisa bicara yang nggak terlalu formal? Tewas?" sela Elyssa.
Entah apa yang salah. Alfian memang seperti ini. Kalimat yang keluar dari mulutnya memang selalu formal jika berbicara menyangkut pihak korban.
Tarikan napasnya terdengar berat. Untuk sesaat, Alfian menatap layar monitornya. "Oke, aku ulangi. Sebelum korban meninggal." Ia mencoba setenang mungkin. Elyssa tampak dapat menerima. "Bisa saya lanjutkan?" tanyanya. Elyssa mengangguk dua kali.
"Ada seorang perawat yang memasuki ruangan sesaat sebelum korban meninggal. Namun, anehnya ... tadi pagi perawat itu mengajukan pengunduruan diri."
"Jadi maksudmu ... perawat itu yang membunuh ayahku?" Elyssa menyondongkan bahu ke arah Alfian. Derit kursi yang terangkat memekak telinga.
"Belum bisa diketahui. Untuk sekarang, hanya itu yang kami punya. Penyelidikan baru berjalan. Saya akan kabari kelanjutannya. Mohon bersabar."
"Tolong aku ...." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Elyssa. Tangisnya duluan menghambur. Ada sesak di dada yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Alfian mengepal tangan. Ia ingin sekali menenangkan Elyssa lebih dari yang bisa ia lakukan sekarang. Ia ingin menghapus air mata gadis itu dengan jemarinya. Memeluk dan mengusap kepala Elyssa lalu mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, niatnya seketika urung. Mengingat kejadian 12 tahun silam yang menjadikan ia sebagai penjahat. Lelaki pengecut. Karena memberi keterangan palsu yang sampai sekarang masih berbuah penyesalan. Ia paham, bagaimana Elyssa membencinya saat itu. Ia paham, bagaimana tatapan gadis itu masih sama dinginnya seperti dulu.
"Saya ... akan berusaha semaksimal mungkin. Anda tak perlu khawatir. Mohon ... bersabarlah."
Lagi dan lagi. Sikap tak acuh menjadi tameng di antara mereka.Maafkan aku, El. Maafkan aku.
To be continue
Skenario. Copyright©2020, Meylinda Ratna. All Rights Reserved | 23 Agustus 2020
Note:
Candytuft :
a salah satu tanaman hias (bunga) yang banyak tersebar luas di pegunungan dan area perkebunan. Nama candytuft tidak memiliki kaitan dengan permen "candy", melainkan berasal dari kata Candia, yakni sebuah nama lama dari Iraklion di pulau Krete. Dalam bahasa bunga, candytuft melambangkan ketidakpedulian atau sikap apatis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKENARIO (RAWS PROJECT)
Storie d'amoreSkenario. Copyright©2020, Meylinda Ratna. All Rights Reserved | 01 Agustus 2020 Blurb: Pernah dengar pepatah lama? Hukum semakin tumpul ke atas, tapi semakin tajam ke bawah. Bagaimana jika uang dapat membungkam keadilan? Membersihkan noda tak berbe...