Part 3

362 24 0
                                    

Next part gaiss...
Semoga suka yaa gaiss
Jangan lupa vommentsnya 😁😁

"Namaku Bryan, jadi berhentilah memanggilku pencuri, Zenata." Ucapnya sebelum benar benar meninggalkan cafe tersebut meninggalkan tubuh lemas kedua gadis yang berdiri di antara tumpahan espresso.

---------------------------------------

Zena terdiam menatap tehnya yang mulai dingin. Di hadapannya terdapat Kanaya yang sama diamnya pada Zena. Keduanya seakan memikirkan sesuatu, dan tentu bisa di tebak, mereka memikirkan satu hal yang sama. Apalagi kalau bukan masalah Zena dengan laki laki menyebalkan bernama Bryan itu.
"Oh God!! Aku bisa gila kalau begini, Kan.." Zena menyandarkan tubuhnya pada kursi kantin di area kampus. Tangannya juga mengacak rambutnya kasar, frustasi.

"Setidaknya, jika kau menemuinya, kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu, Zen." Ucapan Kanaya barusan membuat Zena semakin pusing. Pertama, jika ia menuruti keinginan si pencuri ia mungkin akan dalam bahaya, terlebih Bryan meminta untuk menemuinya di rumah laki laki itu. Dan pilihan kedua, membiarkan laki laki itu tidak memaafkannya dan ia akan kehilangan pekerjaannya. Bahkan hanya membayangkannya saja, ia sudah dapat merasakan aura buruk dari kedua pilihan itu.

"Lalu kau ingin aku menemuinya? Dan bagaimana jika terjadi hal buruk padaku?" Pikiran negatif semakin lama semakin menghantui gadis berambut cokelat dengan kaos hitam itu.

"Tapi apa kau tahu alamat rumahnya? Bukankah laki laki kemarin hanya memintamu datang tanpa memberi tahu alamatnya?" Tanya Kanaya. Sontak saja pertanyaan itu membuat Zena berpikir sejenak dan langsung tersenyum lebar.

"Kau benar!! Hahaha... kalau begitu mengapa aku harus takut? Kalau ia tetap ingin melapor pada manajer, aku akan menggunakan alasan tidak mengetahui alamat rumahnya." Zena masih tersenyum lebar dan meneguk tehnya yang sudah mulai dingin sedari tadi ia memikirkan masalah mengenai laki laki menyebalkan nan brengsek itu.

"Baiklah, Kan. Masalah sudah kelar, ayo bersiap masuk kelas dan menunggu Prof. Will dengan segala celotehan tidak jelasnya." Zena bangkit dari kursinya dan beranjak meninggalkan gelas tadi diikuti Kanaya yang mengendikan bahunya sambil berjalan mengekor.

Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore, jam kuliah sudah ia selesai, begitu juga dengan tumpukan tugas Prof. Will. Sekarang gadis itu sedang mengelap sisi meja di cafe tempat ia bekerja. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum sambil bersenandung riang. Membayangkan masalahnya begitu mudahnya akan selesai.

Kriingggg

"Bilie!! Angkatlah telpon itu, aku sedang sibuk!" Teriak Zena dari tempat ia membersihkan meja yang baru saja ditempati pengunjung.

Bilie yang sedang menyusun gelas gelas minuman di samping meja kasir itu segera menghentikan aktivitasnya. Tanpa menjawab ucapan Zena, ia kemudian mengangkat panggilan telepon itu.
"Heii Zena!! Panggilan untukmu!" Teriaknya sambil menjauhi gagang telepon. Bilie meninggalkan telepon yang masih tersambung dan kembali melanjutkan tugasnya.

Zena yang mendengar itu kemudian berlari dan meraih gagang telepon itu. Mungkin ayah ibunya ingin menanyai kabarnya, atau mungkin terjadi sesuatu di rumah.
"Halo?" Sapa Zena disana.

"Keluarlah. Aku terlalu lama menunggumu disini." Panggilan itu pun langsung terputus sebelah pihak. Dari panggilan itu terdengar jelas, bahwa disana ada seorang laki laki yang cukup kesal. Lebih tepatnya di depan cafe.

Zena menaruh kembali gagang telepon tersebut, berpikir sejenak orang yang meneleponnya seperti itu. Tanpa takut, gadis itu langsung keluar dari cafe dan memutar matanya ke setiap sudut, mencari laki laki yang meneleponnya tadi.

Hingga tatapannya terhenti pada sebuah motor. Hanya motor biasa, bukan motor sport idaman banyak wanita. Hanya sebuah motor hitam biasa.

Zena memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya sang pemilik motor itu melepaskan helmnya. Suraian rambut cokelatnya terlihat terbang dan berjatuhan bersamaan dengan angin sore yang cukup kencang hari ini. Laki laki itu terlihat tampan dengan jaketnya. Namun lagi, bayangan indah tentang laki laki itu hilang begitu ia kembali membayangkan perilaku pria itu kemarin.

ConvivenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang