Bab 1
Pukul dua dini hari. Masih terlalu pagi untuk sebuah kesibukan, tapi tidak bagi Fitri.
"Nak, Nak, bangun. Emak mau wudhu." Suara itu terdengar jelas.
Perempuan empat puluh empat tahun itu membuka mata. Kepalanya terasa sangat berat. Baru dua jam yang lalu dia merebahkan badan setelah menghabiskan setrikaan yang segunung. Sekarang sudah harus "berdinas" lagi.
"Engge, Mak." Fitri bangkit, berjalan menuju kamar ibu mertuanya sambil menggelung rambut yang sudah mulai beruban.
Sejak kamar utama ditempati ibu mertua, suaminya pindah ke kamar di lantai dua. Sementara Fitri tidak mungkin tidur di kamar atas, karena harus selalu siaga kapan saja ibu mertuanya membutuhkan bantuan.
Fitri tidak tega jika ibu kandungnya yang tidur di kamar depan juga terganggu, karena mengawasi sang besan bolak balik ke kamar mandi. Jadi dia tidur beralaskan karpet di ruang tengah yang berada persis di depan kamar utama.Fitri memapah tubuh mertuanya menuju kamar mandi. Mendudukkan beliau di kloset duduk. Tangannya meraih selang kran dan memutarnya pelan.
"Airnya dingin. Emak ingin wudhu pake air yang hangat."
"Oh, saya belum ngrebus air, Mak. Saya rebuskan sebentar, ya. Emak tunggu di sini,ngge?"
"Emak nunggu di depan tivi aja. Kamu kok ggak sopan nyuruh Emak nunggu di kamar mandi."
Perempuan berdaster itu terdiam. Dipapahnya kembali wanita sepuh itu menuju ruang tengah, lalu didudukkan di kursi
Fitri bergegas ke dapur, menyalakan kompor, memanaskan sepanci kecil air.
"Bagaimana caranya agar Emak bisa berwudhu dengan air hangat yang mengalir? Hmm, besok aku harus menyiapkan tempat khusus. Bisa saja sebuah timba yang dilubangi. Tapi kali ini, cukuplah kualirkan air dari gayung." pikirnya.Setelah air hangat siap, dipapahnya lagi ibu mertua ke kamar mandi.
Sebetulnya, suaminya sudah membeli tongkat berkaki tiga yang biasa dipakai orang-orang tua untuk membantu berjalan. Tapi mertuanya enggan memakai.
"Aku nggak mau pake tongkat. Kalau kamu nggak mau nuntun, biar Emak jalan merambat aja, pegangan dinding atau barang-barang yang ada!" Begitu suara mertuanya saat tongkat disodorkan.
"Tapi, Mak, kalau Emam pake tongkat kan lebih enak. Kalau mau kemana-mana nggak nunggu istriku dulu. Nggak perlu teriak-teriak manggil dia." Suami Fitri memberi penjelasan.
"Apa istrimu keberatan nuntun Emak? Kalian keberatan Emak tinggal di sini, ha? Kalau kalian keberatan, carikan Emak kos-kosan! Emak bisa tinggal sendiri! Atau usir kakakmu dari rumah Emak! Baru aku mau pulang ke rumahku sendiri!"
Wanita sesepuh itu mau kos sendiri? Berjalan saja susah, mau tinggal sendiri? Di kos-kosan pula? Apa kata dunia?
"Kita berdosa kalau membiarkan Emak kos, Yah,"
ucap Fitri pada suaminya."Ya nggak papa kalau Emak tinggal di sini. Tapi, kamu kuat nggak? Kalau aku pribadi, mungkin aku akan lebih jarang di rumah."
"Lho, kok gitu sih, Yah. Itu Ibu kandung Ayah sendiri, lho."
"Iya, Ibu kandung karena memang beliau yang melahirkan aku. Tapi, Emak cuma butuh uangku, hartaku. Selain itu, tidak! Terserah kalau adik siap, ya silahkan saja Emak tinggal di sini. Aku akan lebih giat cari uang. Emak tinggal di sini pasti pengeluaran kita lebih besar."
Ada amarah dalam suara suaminya. Fitri paham. Sejak kecil suaminya telah keluar dari rumah. Bekerja serabutan agar bisa sekolah. Begitu dia dapat tempat yang cukup layak, ngenger pada seorang pedagang besar, Emak tiap bulan datang meminta jatah uang bulanan buat belanja dan menyekolahkan adik-adiknya.
Bahkan saat hendak menikah, Emaknya mati-matian menentang. Takut anak lelakinya berhenti memberi uang. Beliau baru merestui saat anak lelakinya berjanji akan tetap melaksanakan kewajiban memberi jatah uang bulanan.
"Nak, Nak! Emak sudah selesai wudhu! Kamu kok nglamun!!"
Fitri tersentak, tersadar dari lamunan. Segera dia bangkitkan si Emak, lalu memapahnya ke kamar. Sembari menyiapkan sajadah dan kursi untuk sholat, ingatan Fitri melayang pada jaitan yang akan diambil besok pagi, dan sekarang masih belum dijahit. Haduh, bagaimana ini?
Jarak antara jam dua ke subuh hanya sebentar. Fitri tak mungkin tidur lagi. Sebelum adzan berkumandang, satu bak besar air hangat sudah harus tersedia untuk mertuanya mandi.
Dia juga harus belanja ke pasar, karena jam 6 pagi sarapan sudah harus siap. Bukan untuk suami dan anak-anaknya. Karena mereka terbiasa hanya minum susu dan roti untuk sarapan pagi. Tapi untuk ibu mertua, beliau wajib sarapan menu lengkap sebelum jadwal minum obat jantung jam tujuh pagi.
Sela waktu itu dia gunakan untuk menjahit. Menjahit dengan kepala sakit. Dalam hati Fitri mentertawakan diri sendiri. Atau lebih tepatnya mengasihani diri sendiri. Dia sama sekali tak membayangkan jika akhirnya harus tinggal dan merawat mertuanya.
"Dimas itu anakku yang paling ganteng. Paling pinter nyari duit. Tapi bodoh nyari istri. Ya, ini istrinya. Jelek, hitam. Masih lebih cantik calon istri Bimo, adiknya. Saya sebetulnya nggak setuju. Tapi Dimas ngeyel tetep nikahin dia."
Fitri masih mengingat dengan jelas ucapan ibu mertuanya dua puluh dua tahun silam. Saat itu acara ngunduh mantu di rumah mempelai laki-laki. Dan kalimat itu yang selalu diucapkan ibu mertuanya di depan para tamu.
Dan, nyatanya sekarang dia yang harus merawat wanita sepuh yang mulutnya masih sangat tajam itu.
Baru saja kakinya akan menginjak dinamo mesin jahit, terdengar suara panggilan itu lagi.
"Nak, Nak, Emak kebelet pipis!"
***
Hehehe...lagi belajar nulis, nih!
Dilanjutin gak ya ceritanya?
Monggo dikrisan
Terima kasiiihh
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG MERTUA
General FictionMertua adalah orang tua kedua, yang harus dihormati selayaknya orang tua kandung. Banyak mertua yang sangat baik, tapi ada juga yang kebalikannya. Apa jadinya jika ternyata Sang Mertua jauh dari impian?