Bab 3

12.5K 124 7
                                    

Mendengar panggilan mertuanya, Fitri berjalan tergesa menuju kamar. Ibunya mengikuti dari belakang. Langkah Fitri terhenti di pintu. Terlihat sang Emak berdiri di tepi ranjang.

"Kamu kemana? Dipanggili dari tadi gak datang-datang. Emak ngompol!" Tangan keriput itu menunjuk lantai yang basah.

"Ha, ngompol? Oala, Mak! Kok bisa ngompol? Emak kan bisa ke kamar mandi sendiri. Nggak harus nunggu dipapah Fitri untuk jalan. Toh kamar mandi letaknya persis di sebelah kamar Mak." Ibu Fitri bersuara. Mungkin, beliau mulai jengkel dengan kemanjaan besannya.

Fitri masih mematung, sampai suara itu mengagetkannya lagi.

"Kamu kok diam aja? Antar Emak ke kamar mandi, lalu bersihkan lantai ini!"

Energi suara wanita tujuh puluh tahun itu sungguh luar biasa. Setiap berbicara suaranya selalu lantang.

Fitri mengambil kain pel, membersihkan lantai ala kadarnya, lalu memapah mertuanya ke kamar mandi. Dalam hatinya tak henti beristighfar, jangan sampai terbawa emosi. Pikirannya lebih fokus pada tagihan jahitan yang tadi dikirimkan ke para pelanggan.

"Perut Emak sekarang kembung. Nanti ke dokter jam berapa?" Emaknya bertanya.

"Habis maghrib, Mak." Kalimat itu tercetus begitu saja dari bibir Fitri. Kalimat yang baru disadarinya beberapa menit kemudian dan membuatnya makin galau.

Di tengah perasaan yang tak karuan, Fitri meneruskan pekerjaannya.

Tiba-tiba gawalnya berbunyi. Ada pesan masuk. Fitri segera membukanya. Pesan dari Cindy, pelanggan setia yang berdomisili di Jakarta.

[Wa'alaikumsalam, Tante. Sori, baru bisa transfer. Tadi masih nyetir. Maaf, lho, Tante.]

Pesan berikutnya adalah foto bukti transfer.

[Alhamdulillah, terima kasih, Mbak Cindy. Tapi, transfernya kelebihan tiga ratus ribu. Apa saya kirim balik, Mbak?]

Fitri membalas pesan Cindy, setelah menyadari ada kekeliruan pengiriman uang.

[Iyakah tante? Hehehe, nggak usah dikirim balik. Kan, bahanku masih banyak di Tante. Buat DP aja, deh]

[Alhamdulillah, terima kasih, ya, Mbak]

[Sama-sama, Tante]

Fitri mengusap wajahnya lega. Alhamdulillah, bisa untuk biaya berobat Emak.

Gawalnya berbunyi lagi. Pesan masuk dari suaminya.

[Jadi ngantar Emak ke dokter?]

[Jadi, Ayah. Alhamdulillah, sudah ada uang jahitan masuk.]

[Ya sudah, hati-hati.]

[Engge.]

Sekarang saatnya mengabari kedua anaknya.

[Mas, tolong habis maghrib udah di rumah, ya? Tolong antar Ibuk n Nenek ke dokter Rima.]

Beberapa menit kemudian mereka menjawab hampir bersamaan.

[Engge, Bu]

Satu masalah beres. Pertolongan Alloh memang selalu tepat waktu.

***

Meski dengan susah payah, akhirnya mereka bisa mengantar sang mertua ke dokter.

Si Sulung Raka membonceng neneknya, sementara Fitri dibonceng Bagas anak ke duanya.

Hasil pemeriksaan tensi darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol normal semua. Tapi tetap saja Emak minta suntik. Dokter Rima memberikan suntikan vitamin.

Memang, sugesti juga berperan dalam kesembuhan seseorang. Kebanyakan pasien lansia selalu minta disuntik. Mereka merasa lebih cepat sehat daripada hanya minum obat.

Demikian pula mertua Fitri. Kalau tidak disuntik, tidak sembuh.

Malam itu berlalu lumayan damai. Sang mertua tidur nyenyak tanpa gangguan batuk, juga jarang terbangun karena kebelet pipis.

Tapi Fitri tetap terjaga. Tangannya mondar mandir menggerakkan setrika. Hawa gerah di sekitarnya melahirkan butir-butir keringat di kening yang sudah dihiasi keriput.

Otaknya kembali menghitung saldo ATM. Masih belum cukup untuk membayar biaya kuliah Bagas.

Hatinya mendadak sedih. Teringat bagaimana Bagas malam tadi memprotes habis-habisan keberadaan ibunda ayahnya di rumah mereka.

"Sampai kapan Nenek di rumah kita, Bu?"

"Ya, seterusnya, Mas. Kenapa?"

"Lho, selamanya tinggal di rumah kita? Kenapa? Anak Nenek banyak. Harusnya gotong royong merawat Nenek. Bukan semua-semuanya ayah dan ibu. Ya tenaga ya uang."

"Nggak boleh gitu, Mas. Sudah kewajiban Ayah sebagai anak merawat nenek yang sudah tua."

"Tapi anak nenek banyak, Bu. Bukan cuma ayah. Lagian, dari dulu nenek nggak sayang sama kita. Sejak kecil sampai segini besar, aku, Mas dan Adik nggak pernah dirawat Nenek. Tiap datang Nenek cuma minta uang. Kalau nggak dikasih, marah-marah terus pulang. Jadi kalau sekarang Ayah bisa ngasih uang banyak, ya sudah, uang aja. Yang ngrawat biar saudara-saudara Ayah yang lain. Aku nggak ikhlas Ibu susah karena Nenek. Iya aku dan Mas bisa cuek. Masuk kamar, beres. Ayah juga bisa cuek dengan tidur di kantor. Lha, Ibu bisa apa? Ibu harus selalu siaga demi Nenek. Ibu mandi'in, nyebokin. Itu semua seharusnya dilakukan anak kandung Nenek, bukan menantu!"

Fitri membiarkan Bagas mengeluarkan semua unek-uneknya. Sesungguhnya dia tidak menyangka, anaknya akan protes sekeras itu.

"Ibu bilang, merawat orang tua akan mendatangkan keberkahan. Mana buktinya? Sejak Nenek di sini, rejeki Ayah seret. Penghasilan Ibu juga menurun gara-gara Ibu nggak fokus jahit. Waktu Ibu habis buat merawat Nenek! Bahkan buat bayar uang kuliahku saja kita kesulitan! Ini nggak adil! Aku nggak terima!
Satu hal lagi, Bu. Kalau aku disuruh berbakti pada orangtua Ayah dan Ibu, aku pasti lebih berbakti pada MbahTi daripada Nenek. MbahTi yang membantu Ibu merawat kami, bukan Nenek!!"

Subhanalloh, Astaghfirulloh....

Fitri mengusap wajahnya yang berkeringat. Ucapan anaknya tadi malam terngiang-ngiang di telinganya. Dia tak tahu harus bagaimana.

Terkadang orangtua sudah merasa benar dalam mendidik anak-anaknya. Tapi pada kenyataannya, reaksi anak-anak terhadap sesuatu sungguh di luar dugaan.

Fitri menghela napas. Dilihatnya jam dinding sudah menunjuk di angka tiga. Waktunya memasak air untuk mandi sang mertua.

***

Meski otaknya masih mencari cara untuk melunasi biaya kuliah Bagas, pagi itu Fitri tetap beraktifitas seperti biasa. Dia membersihkan seluruh ruangan, mencuci dan memasak.

Saat tangannya masih asyik menggoreng ikan, ibu mertuanya memanggil.

"Nak, Nak, sini!"

"Iya, Mak. Sebentar," jawab Fitri.

"Sini, biar Ibu lanjutkan menggorengnya." Wajah teduh Ibunya telah berdiri di samping Fitri. Wajah yang menjadi sumber kekuatannya selama ini.

"Cepat datang ke Emakmu, sebelum suaranya makin tinggi."

"Engge, Bu." Fitri berlalu.

Di dalam kamar, Emak duduk di tepi pembaringan. Tangannya memegang sebuah dompet berwarna merah.

"Ada apa, Mak?" tanya Fitri pelan.

"Uang Emak hilang. Emak taruh di dompet ini."

"Uang Emak hilang?"

"Iya, dan kamu kan, yang barusan bersih-bersih kamar ini?"

..............

*segini dulu updatenya.
Selamat membaca, tetap ditunggu krisannya, terima kasiihh😊😊


















SANG MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang