Bab 6

7.4K 156 2
                                    

Bab 6

Fitri manatap manik mata suaminya beberapa saat. Dia tak tahu apa yang harus dikatakan.
Sampai Dimas membimbingnya duduk, Fitri masih terdiam.

"Ceritalah, sejujur-jujurnya."

Mereka duduk berdampingan di sofa.

Fitri meraih tangan suaminya, menciumnya dalam-dalam, seperti hendak mencari keuatan dari lelaki yang menemaninya lebih dari separuh usia.

"Aku akan cerita, tapi Ayah harus janji, apa pun yang kuceritakan, Ayah nggak boleh emosi. Janji, ya?"

Dimas mengangguk.

Fitri mulai menceritakan semua sambil tetap menggengam tangan suaminya. Baginya, sepahit apa pun, dia harus tetap jujur. Fitri tak terbiasa menyembunyikan sesuatu dari suaminya.

"Emak cuma lupa naruh uangnya, Yah. Uangnya masih ada." Fitri mengakhiri kalimatnya dengan senyum getir. Sejujurnya masih ada rasa sakit yang menyelinap.

Sejujurnya pula, Dimas merasa sesak, saat Fitri mengatakan kalimat-kalimat yang diucapkan Emak. Wajahnya serupa kepiting rebus, sekuat tenaga menahan emosi yang siap meluap.

Emak telah menuduh istrinya mencuri! Meski tidak terbukti, tapi tuduhan itu terlanjur diucapkan. Jangankan Fitri, Dimas pun merasa sakit yang teramat sangat.

Dimas menghela napas. Astaghfirulloh!

Direngkuhnya Fitri dalam pelukan.

"Maafkan, Emak ya, Dik? Maafkan...." Mata Dimas memanas.

Melihat mata lelaki itu mulai berkaca-kaca, Fitri membenamkan kepala di dada suaminya. Beberapa menit mereka menikmati kesakitan berdua. Berusaha membangun ketegaran dalam pelukan.

"Ayah nggak perlu menegur Emak. Kita anggap semua sudah selesai. Nggak perlu dibahas lagi. Deal?" Fitri menatap lekat suaminya. Dia tak ingin masalah ini menjadi besar dan berlarut-larut.

Dimas mengangguk di sela hela napas panjangnya.

"Iya, kita ikhlaskan. Adik tetap sabar, ya?" Dikecupnya kening yang jarang tersentuh make up itu. Kening yang mulai keriput, tapi tetap jadi pelabuhan kecupan Dimas tiap mereka bertemu.

"Kita harus tetap sabar. Bagaimanapun, Emak lah yang telah bertaruh nyawa mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat Ayah."

"Iya, meski hanya sampai usiaku 11 tahun," ucap Dimas sambil tersenyum getir.

Tiap kali mengenang masa kecilnya, Dimas masih merasa sedih. Meski kemudian dia sangat bersyukur, kenekatannya untuk mengadu nasib dengan ngenger orang agar bisa sekolah, bisa membuatnya memiliki masa depan yang lebih baik daripada saudara-saudaranya. Kerja kerasnya bisa untuk menyambung hidup seluruh keluarga, apalagi setelah bapaknya tidak bekerja karena kecelakaan yang menimpa.

Seandainya saat itu dia hanya menerima nasib, cerita hidupnya pasti lain. Adik-adiknya pasti tidak sekolah semua. Dan Emak, apa yang bisa dilakukan seorang wanita buta huruf dan tak pernah mengenyam pendidikan formal? Mungkin Emak akan jadi pembantu. Dan Dimas tak mengingkan hal itu. Lebih baik dia yang mengambil alih tanggungjawab, daripada melihat Emaknya pontang-panting mencari nafkah.

Ya, demi masa depan dan demi senyum di bibir Emak, Dimas rela kehilangan masa kecilnya. Senyum yang jarang diperlihatkan, meski Dimas telah berusaha semampunya memenuhi semua keinginan Emak.

Dimas memperhatikan istrinya yang sedang menyetrika. Rasa iba memenuhi rongga dadanya.

Wanita yang dinikahinya saat masih berusia dua puluh tahun, kini mulai menua. Wanita kuat yang selalu bertahan di sisinya, mendukung semua aktifitasnya. Wanita yang merelakan diri untuk sepenuhnya mengabdi pada rumah tangga mereka. Wanita yang merelakan hasil keringatnya untuk membantu ekonomi keluarga. Wanita yang sering tidak jadi prioritasnya, karena urutan pertama dalam skala prioritasnya adalah Emak.

"Maaf, Ayah belum bisa membahagiakan Adik." Dimas memeluk Istrinya dari belakang.

"Hahaha, Ayah ini kenapa? Aku masih setrika. Gerah, nih, jangan dipeluk-peluk, bau keringat," Fitri berusaha melepaskan pelukan suaminya.

"Keringatmu kelak akan membuka pintu surga, Dik."

"Aamiinn..."

Dimas melangkah ke kamar depan yang masih gelap.

"Anak-anak belum ada yang pulang? Mereka harus sudah bisa menerima keadaan ini. Jangan sampai penolakan mereka kebablasan. Besok, kita harus bicara pada mereka."

"Iya, Yah. Nanti akan kubilangi mereka," jawab Fitri sambil melanjutkan pekerjaannya.

Tak ada suara terdengar dari lantai bawah. Sepi. Pasti si kecil Dea sudah terlelap di kamar Embah. Emak pasti juga sudah tidur. Alhamdulillah jika bisa tidur nyenyak tanpa terganggu batuk atau keluhan lainnya.

Dimas melangkah pelan menuruni anak tangga, berniat keluar mencari udara segar, meski hanya duduk-duduk dengan tetangga kiri kanan.

Saat melewati kamar Emak, dilihatnya lampu masih menyala.

Tanpa suara Dimas mendekat. Daun pintu tak tertutup rapat. Ada sela yang bisa digunakan untuk melihat ke dalam.

Dimas mendekatkan kepala ke daun pintu. Dahinya berkerut. Dibukanya mata lebar-lebar, memastikan penglihatannya tidak salah.

Beberapa detik Dimas tak bergerak. Dia terus mengamati. Memang matanya tak salah lihat. Emaknya berjalan mondar mandir di dalam kamar. Jalannya tak sempoyongan meski tubuhnya sudah agak bungkuk. Emak berjalan biasa tanpa tongkat!

"Jadi, Emak sudah bisa berjalan? Sejak kapan?" batin Dimas keheranan.

*******

Haduuhh...maafkan yaa...updatenya selalu malam-malam...hehehe...

Semoga masih berkenan membaca, yaa...ditunggu krisannya.
Terima kasih...

SANG MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang