Bab 4

9.2K 131 7
                                    

Fitri membeku di tempatnya berdiri.

"Iya, kamu kan, yang barusan masuk kamar, pas aku duduk-duduk di depan tadi?" Suara itu bergetar penuh emosi. Mata tuanya nanar menatap Fitri.

"Iya, Mak. Memang saya barusan bersih-bersih. Tapi saya nggak tahu apa-apa soal uang Emak. Emak naruh uangnya di mana, saya juga nggak tahu," Fitri merasa sesuatu merobek robek dadanya.

"Ya Emak taruh di dompet ini! Sekarang kok ilang? Dompet ini tadi ada di dalam tas ini. Tadi tas ini Emak taruh di dekat bantal. Sekarang kok tasnya ada di kursi? Kamu kan, yang mindah?"

"Iya, saya perlu mengganti sprei, jadi tasnya saya pindah. Coba dicari lagi, Mak. Barangkali terselip." Fitri gemetar menatap mertuanya.

"Dari tadi sudah dicari! Ilang ya ilang!!"

"Yang masuk kamar ini cuma saya dan ayahnya anak-anak, lho, Mak."

"Kalo suamimu, nggak mungkin lah ngambil uangku!" bentaknya. Mata tua itu melotot lagi.

"Jadi, Emak nuduh saya ngambil uang Emak?" Suara Fitri bergetar.

"Nggak nuduh! Tapi buktinya uangku ilang!"

Tangan kurus keriput itu masih sibuk membuka satu persatu resleting dompet merah yang dibelikan Fitri beberapa saat yang lalu.

Duh, Gusti! Mertuanya menuduhnya mencuri? Maling di rumahnya sendiri? Bongkahan batu besar serasa menekan dadanya. Sakit!

Bibir mertuanya masih mengomel tak jelas sambil terus mengaduk isi dompetnya.

Sampai kemudian mata fitri menangkap lembaran berwarna merah yang terlipat di dalam resleting dompet paling tengah, terselip di antara lipatan kertas-kertas.

"Itu, uang, kan, Mak?" Tanyanya sambil menunjuk.

Mertuanya segera menarik lembaran merah itu.

"Lho, iya, ini uangku! Tapi, kok bisa ada di sini? Aku nggak pernah naruh uang di saku tengah ini. Selalu di saku samping. Kok bisa pindah?"

Fitri tak bicara lagi. Segera ia membalikkan badan dan keluar dari bekas kamarnya dulu. Kaca-kaca mulai memenuhi bola matanya.

Dan kaca-kaca itu pecah, tumpah di pangkuan Ibunya.

"Aku bukan pencuri, Buk! Aku bukan pencuri! Sekere-kerenya aku, aku nggak bakalan mencuri!"

Wajah teduh ibu Fitri mendung seketika. Dipeluknya tubuh yang tersungkur tak berdaya di pangkuannya itu.

"Sabar, Nak. Sabar...sabar...ini cobaanmu. Sabaarrr....!" Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir wanita tua yang bergetar menahan emosi.

Bagaimana mungkin, besannya punya pikiran buruk seperti itu? Astaghfirulloh!

Fitri masih terisak. Wajah suaminya melintas. Kemudian kenangan buruk masa SMA menyusul tanpa ampun.

Dulu, saat masih SMA, dia juga pernah dituduh sebagai pencuri saat banyak barang teman-temannya hilang. Tapi Fitri tak pernah merasa saat sebagian besar temannya mulai menjauh. Dia baru sadar saat Dwi, teman satu kosnya bertanya langsung.

"Kamu tahu kan, barang teman-teman banyak yang hilang, Fit?"

"Tentu saja. Udah ketemu malingnya?"

"Belum sih. Kamu tahu siapa yang dicurigai teman-teman?"

"Nggak tau, siapa memangnya?"

"Mereka mencurigai kamu. Tapi, bukan kamu kan, Fit, yang ngambil?"

Saat itu Fitri tak menangis. Dia hanya tersenyum nelangsa. Meski dia siswa paling miskin yang selalu nunggak membayar SPP, dia tidak sehina itu.

"Demi Alloh, aku tidak mengambil barang teman-teman. Aku bukan pencuri. Meski kami miskin, Ibu mendidikku untuk jadi manusia baik-baik. Jangan sampai mengambil hak orang lain."

Tak selang beberapa lama, pencuri sesungguhnya tertangkap. Pelakunya adalah teman sekelas mereka. Namanya Mirna, anak orang kaya pengidap kleptomania.

Selain nelangsa, tak ada perasaan sakit di hati Fitri saat itu.

Lain dengan sekarang.

Saat mertuanya menuduh Fitri mengambil uang, rasanya sangat sakit!!

Atas dasar apa dia jadi maling di rumahnya sendiri? Mencuri uang orangtuanya sendiri? Uang yang sebetulnya juga adalah hasil jerih payahnya sendiri?
Sehina itukah Fitri di mata mertuanya?

Air mata Fitri tumpah lagi. Rasanya sia-sia semua pengabdiannya, terutama selama beberapa bulan ini. Wanita yang dijunjungnya selayak ratu, ternyata menganggapnya tak lebih dari seorang maling!

"Nak, soal uang tadi jangan kamu ceritakan sama suamimu, awas!" Wanita sepuh itu telah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Nada suaranya mengancam.

Fitri tak menjawab. Diusapnya mata dengan ujung lengan daster, kemudian pergi meninggalkan dapur.
Dia merasa sangat letih, jiwa raga.

***

Hiks, updatenya kemalaman lagi...maaf yaa...
Semoga masih sudi membaca...




SANG MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang