Bab 7

6.9K 171 4
                                    

Semalaman Dimas menyimpan banyak pertanyaan dalam benaknya tentang Emak. Apa penglihatannya salah? Jika Emak memang bisa berjalan tanpa bantuan, kenapa harus selalu memanggil Fitri untuk memapah? Jika memang Emak betul-betul tak bisa berjalan, kenapa semalam di dalam kamarnya, Emak berjalan biasa dan tanpa kesulitan?
Apa yang sebetulnya terjadi?
Dimas akan mencari jawabannya hari ini.

"Pagi ini biar Ayah yang membersihkan kamar Emak, Dik." Dimas menghampiri istrinya di dapur.

"Eh, kok tumben. Ayah nggak kerja?" Fitri menatap suaminya heran. Bisa dihitung dengan jari, Dimas mengerjakan pekerjaan rumah.

"Kerja, tapi agak siang," jawab Dimas.

Biasanya, tiap hari Minggu, Dimas akan mengecek beberapa warung kopi, usaha yang dibangun dengan beberapa temannya.

"Anak-anak gimana? Sudah diajak bicara?" tanyanya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.

"Semalam sih, sudah. Kita liat aja gimana hari ini, Yah." jawab Fitri sambil melanjutkan memasak.

Emak sudah sarapan bubur ayam yang tadi dibelinya di pasar. Jadi acara memasak bisa lebih santai.
Menunya cukup sayur sop, tempe, tahu goreng dan telur dadar palsu. Sebutan lucu yang diberikan anak-anak lelakinya, karena telur dadarnya dicampur tepung dan bawang prey yang banyak.

"Ibu melakukan pemalsuan telur dadar nih," begitu kata Sulungnya saat baru pertama kali melihat Fitri memasak.

"Ssttt, biar jadi banyak, Mas. Dua telur cukup untuk sekeluarga."

"Kalau gitu, telur rekayasa aja namanya. Kalau pemalsuan, nanti Ibu bisa kena pasal." Si anak kedua nimbrung.

"Hmm..., mentang-mentang kuliah hukum, dikit-dikit pasal." Raka meledek adiknya.

"Sama, sampean juga, apa-apa kudu steril biar nggak ada virus." Si Adik balas meledek, kemudian dapur penuh tawa.

Keceriaan yang menghilang untuk beberapa saat, sejak kedatangan Sang Mertua. Anak-anak menjauh, dan Fitri masih belum mampu merangkul mereka untuk kembali utuh seperti dulu. Duh..

Dalam hati Fitri berharap, semoga pembicaraan mereka semalam mampu melunakkan keegoan anak muda.

"Sampai kapan, kalian akan menghindar? Sampai kapan kalian akan selalu pulang malam? Ibu rasa sudah cukup. Apa yang kalian dapatkan di luar, terutama sampean, Dik? Sampai kapan kalian akan nggak suka sama Nenek?" tanya Fitri pada kedua anak lelakinya.

Mereka sedang berkumpul di kamar atas semalam. Sejak sore Fitri telah mengirim pesan agar tak ada yang menginap di luar, karena ada hal yang perlu dibicarakan.

"Sampai Nenek bersikap baik sama Ibu." Bagas menjawab.

Dia memang yang paling sering tahu, bagaimana Nenek memperlakukan Ibunya.

Fitri menghela napas mendengar jawaban itu.

"Kita harus berbesar hati menghadapi Nenek. Beliau sudah tua. Bisa saja, saat ini adalah kesempatan terakhir kita untuk berbakti padanya. Kehadiran Nenek di rumah kita itu kehendak Alloh. Kenapa kalian tidak bisa menerima ketentuan Alloh? Lagi pula, dengan selalu pulang malam, kalian tidak hanya menghindari Nenek, tapi juga menghindari Ibu. Misal kalian seperti dulu, selesai kuliah langsung pulang, kalian kan masih bisa membantu Ibu bersih-bersih rumah, atau sekedar menjemurkan cucian. Ibu kan, jadi lebih enteng pekerjaannya."

Raka dan Bagas terdiam. Dalam hati mereka membenarkan ucapan Ibunya.

"Ibu harap, mulai besok, kalian kembali menjadi anak-anak Ibu yang baik. Kalian harus ingat, kelak Ibu juga akan menua seperti Nenek. Dan Ibu pasti nelangsa, jika anak dan cucu Ibu bersikap seperti itu."

Tak ada jawaban dari kedua anaknya. Tapi dalam hati Fitri berharap, mereka mencerna semua kalimatnya dengan lapang dada.

Dalam linangan air mata diantara sujudnya Fitri melangitkan doa. Melarungkan seluruh rasa dan asa pada Sang Maha mengatur segala sesuatu. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Alloh semata.

"Tempenya nanti gosong, lho. Jangan melamun kalau sedang masak, Dik!" Suara Dimas mengagetkannya.

Fitri tersentak dan buru-buru tersenyum. Dilihatnya Dimas berjalan menuju kamar Emak.

Dari lantai dua, kedua anak lelakinya turun. Hari Minggu mereka semua libur.

"Lapor, Bu! Cucian sudah dijemur, lantai sudah di sapu. Kondisi lantai dua aman terkendali." Raka menyomot tempe goreng di meja.

Fitri tersenyum, "Terima kasih, Mas. Siapa yang ngerjain?"

"Adik yang nyapu, aku yang njemur."

"Sip! Anak Ibu pintar!"

"Hahaha, Ibu ini, mujinya kayak kami masih TK aja. Kami udah gede, Bu. Mas aja udah mau wisuda." Bagas ikut-ikutan mengambil tempe goreng.

Sebuah awal hari yang cukup melegakan. Setidaknya, Raka dan Bagas sudah mulai buka suara saat di rumah.

Sampai kemudian, dari kamar Emak terdengar suara yang cukup mengagetkan.

"Ya Alloh, apa maksud semua ini, Mak? Kenapa? Kenapa Mak berbohong?"

Fitri segera mematikan kompor, lalu bergegas ke arah suara. Dibelakangnya, Raka dan Bagas mengikuti sambil berpandangan, bingung.

Di ruang tengah, Ibu Fitri duduk sambil menggeleng tak tahu, saat mata anaknya mencari jawaban.

Sampai di pintu kamar Emak, Fitri dan kedua anaknya melihat pemandangan tak biasa.

Emak duduk di tepi ranjang. Sementara Dimas bersimpuh di lantai, sambil tangannya memegang tas plastik kecil berwarna putih. Sapu lantai yang tadi dibawanya tergeletak tak jauh dari kakinya.

"Tolong katakan, Mak, apa maksud semua ini? Kenapa obat-obatnya nggak pernah diminum? Gimana mau sembuh, Mak?" Dimas menatap wajah sepuh Emak.

Sejurus kemudian pandangannya beralih ke tas plastik di genggamannya. Tas plastik berisi obat-obatan yang sudah keluar dari bungkusnya. Sebagian berupa satu tablet utuh, sebagian lagi hanya separuh tablet. Obat-obatan resep dokter yang harus diminum dan telah disiapkan Fitri setiap tiga kali sehari.

Tak ada suara yang keluar dari bibir Emak.

"Emak juga sudah bisa jalan sendiri, kan? Semalam saya lihat Emak mondar mandir dalam kamar tanpa tongkat. Emak bisa jalan, kan? Lalu kenapa, selalu minta dipapah Fitri, Mak? Kenapa?"

Dimas begitu emosional. Lelaki tabah yang dikenal Fitri itu kini berada di titik terendah. Duduk bersimpuh di dekat kaki Emaknya sambil tergugu menangis, mendekap tas plastik berisi obat-obatan.

"Jadi, yang diceritakan adik-adik selama ini benar, Mak? Emak selalu berpura-pura! Itulah kenapa, adik-adik nggak mau lagi Emak tinggal di rumah mereka. Ya Alloh, kenapa, Mak? Kenapa??" Dimas tampak makin emosional.

"Tolong jawab, Mak!"

Emak tetap membisu di tempatnya semula.

Fitri dan kedua anak lelakinya pun sama, mematung di tempat mereka berdiri, di depan kamar Emak, tak tahu harus berbuat apa.

"Maafkan aku, Mak! Maafkan jika masih banyak keinginan Emak yang belum bisa kupenuhi! Kalau semua itu membuatmu marah, jangan begini caranya, Mak! Jangan berpura-pura seperti ini! Apa maksudnya, Mak? Apa??" Dimas tak punya pertahanan lagi.

Fitri tak tahan. Segera dia masuk kemudian bersimpuh di depan Emak.

"Maafkan kami, Mak! Maafkan..."

Kemudian dibantunya Dimas berdiri.

"Sudah, Mas! Istighfar, istighfar!"

"Ya Alloh, diikk...."

Dimas masih hendak menuntaskan emosinya. Tapi Fitri segera menuntunnya keluar.

Pasti ada penjelasan untuk semua ini. Emak pasti punya alasan kenapa melakukan semua ini.

******

Assalamu'alaikum
Maafin yaa...kemarin nggak sempat update.
Semoga masih sudi mampir dan membaca tulisan saya yaa...masih juga ditunggu krisannya...selamat membaca, terima kasih.
Lancar dan sukses untuk hari ini, aamiinn









SANG MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang