Dua

32 0 0
                                    

Reisya melangkah perlahan ke luar toilet sekolah untuk menuju kelasnya. Tubuhnya berjalan menyamping, membelakangi setiap tembok sekolah untuk menutupi roknya yang sudah 'kotor'. Tali ransel sudah ia panjangkan untuk membantu menutupi bercak-bercak pada roknya. Ia sangat malu dan berharap tidak ada satupun orang yang melihatnya. Jangan sampe keliatan orang, Syaa!

"Ngapain lo kayak cicak merayap gitu? Mau maling?!"

MAMPUS!

Reisya sangat familiar dengan suara ini. Ia langsung berbalik arah, membelakangi tembok dan menghadap kepada lawan bicaranya. Ia langsung terkejut melihat orang yang telah berdiri tegak dihadapannya.

"Halo, Kala. Ngapain lo disini belom pulang?"
Tanya Reisya basa-basi sambil memegang roknya, memastikan tidak ada satupun noda yang terlihat.

"Harusnya gue yang ngomong gitu! Ngapain lo jalan ngerayap gitu?!" tukas Kala seraya curiga melihat Reisya yang tampak gugup dan kaku. "Hayo, mau maling ya?"

Reisya menggeleng cepat. "Enggak! Dih, amit-amit, gue masih waras!"

"Terus itu nyembunyiin apa?!"

"Bukan apa-apa!"

"Kasih tau, nggak?! Gue laporin Abah ya!" Kala berusaha menarik tangan Reisya yang disembunyikannya dibalik badannya.

"Ngga mau!" Reisya dengan cepat langsung menepis tangan Kala, namun apa daya, kekuatan Kala melebihi dari tepisannya tangan Reisya. Kala berhasil menarik tangan Reisya, hingga ia berbalik badan.

Bercak merah? Apaan nih, darah? Kala terdiam sejenak, berusaha mencermati apa yang ia lihat pada rok temannya itu.

Reisya menunduk, lalu langsung duduk seraya menutupi wajahnya yang malu pada pangkuan kedua kakinya. Ia pasrah, jantungnya berdegup sangat kencang. Ia tidak bisa menerka respon apa yang akan disampaikan Kala. Ia merasa sangat bodoh, hal yang seharusnya menjadi privasi bagi dirinya, ternyata harus ketahuan oleh orang lain. Terlebih orang itu adalah Kala, teman dekatnya sendiri.

Kala bergumam tidak jelas, memikirkan sesuatu agar suasana tidak awkward. Ia merasa bersalah dan tidak enak atas tindakannya terhadap Reisya barusan. Meskipun begitu, Ia juga berusaha ingin membantu agar tidak banyak lagi orang lain yang tahu atas kejadian siang ini. Cukup gue aja yang tahu!

"Sya." Reisya tidak menyahut.

"Rei. Sya." Masih tetap diam.

"Hei, bangun dong. Nanti diliatin orang, dikirain gue ngapa-ngapain lo, lagi!" Tidak ada jawaban dari Reisya. Ia masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan pada pangkuan kakinya.

Akhirnya, Kala berusaha mencoba membantu Reisya untuk berdiri. "Eh, lo nangis?" Kala melihat mata Reisya yang sembab dan merah disertai dengan raut wajah yang marah campur dengan kecewa.

"Aduh, Sya jangan nangis dong! Oke, gue minta maaf tapi please jangan nangis, gue gaada tisu!" sahut Kala panik seraya merogoh kedua kantung celana seragamnya.

"Malu." ujar Reisya pelan sambil menyeka air matanya.

Kala menggeleng sambil tersenyum. "Kenapa harus malu? Ohya, ikut gue!" Kala menarik tangan Reisya dan berlari kecil menelusuri koridor sekolah. Ia membawa Reisya menuju toilet perempuan.

"Masuk sana! Gue mau cari sesuatu dulu!" Kala mendorongnya masuk ke dalam toilet dan seraya berlalu meninggalkan Reisya sendirian.

Reisya terkejut melihat Kala membawanya ke toilet perempuan. "Apaan, sih, Kalaaaa!" Bener-bener ya, tuh anak! Malah gue yang ditinggal sendirian!

Selang 10 menit berlalu, Kala kembali dengan tergopoh-gopoh menuju toilet perempuan dengan plastik hitam kecil yang berada di saku celananya. "Shhtt Reisya, keluar cepetan!"

KomplementasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang