8

43 6 0
                                    

Masih termenung diam, Tak sedikitpun kata yang terucap dari bibir manis Raisa. Aku saja bingung bagaimana meredakan amarah Raisa, apalagi menghiburnya. Jika dilihat, Emang sedikit lucu jika Raisa membentuk wajahnya dengan wajah marah. Tapi, sedikit menakutkan juga, sudah seperti harimau yang lapar jika dia marah. Dan, aku masih tak menyangka seorang Fareza bisa menduakan wanita se-Perfect Raisa. Dasar, kurang bersyukur.

"Ekhem."

Suara dehaman mulut  itu terdengar di telingaku, sudah tak asing suara ini bagiku, ya. Dehaman seorang pria yang baru saja kupikirkan. Fareza.

"Vira, dari tadi melamun terus. Aku boleh duduk? Ada satu hal yang pengen aku obrolkan."

Deg ... Deg ... Kok malah aku yang tak karuan sih? Hei Hati, sudah deh jangan cepet-cepet.

"Vira, jawab dong."

"Eh, iya-iya. Silahkan."

Aku menggeserkan tubuhku dan mempersilahkan Fareza duduk di sampingku, dari jauh sana Raisa tak sedikit pun menengok ke arahku, dia menatap kedepan dengan tatapan kosong.

"Vira ... Kamu kemarin ikut kan dengan Raisa?"

"Iya."

"Nah, aku tahu kamu sahabat Raisa, tolong hibur dia. Sebenarnya itu hanya temanku kok. Teman lamaku. Kamu bisa kan jelasin ke Raisa."

Aku masih terdiam, dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Pikirku mengapa tak Fareza langsung yang menjelaskan itu ke Raisa, agar cepat selesai, kan?

"Kenapa gak kamu aja yang jelasin, Za?"

Duar! 

Seakan meledak tubuhku, baru saja aku bertanya pada Fareza. Hatiku makin tak karuan, sebenarnya apa sih yang terjadi sama hatiku ini? Hei! Kenapa sih? 

"Dugaanku, Raisa benci sama aku, Ra. Mungkin saja, Raisa akan tetap benci sama aku, aku gak mau putus sama dia, Ra. Tolong aku!"

Tiba-tiba saja perasaanku berubah lagi, aku merasa hal yang belum pernah aku rasakan. Hatiku terasa teriris ketika Fareza menyatakan kalimatnya. Duh, kok rasanya terlalu berharap ya? Apa sih yang sebenarnya kurasakan?

"Owh begitu, Za. Iya deh aku usahain."

"Makasih, Vira. Aku ke kantin dulu. Nanti kabari aku aja di kelas."

"Iya."

Fareza meninggalkanku sendiri lagi, masih bisa kulihat punggung lelaki itu hingga menghilang dari mataku. Aku masih tak mengerti dengan hatiku ini. Apa aku menyukai Fareza? Ah tak mungki, lagi pula Fareza bukan lelaki yang baik. Eh tapi, aku salah paham, mungkin benar juga apa yang dikatakan Fareza tadi sambil memohon padaku. Ah sudahlah. Lagi pula FAreza juga kan milik sahabatku, Raisa.

***

Waktu istirahat sudah habis sejak tadi, istirahat kali ini aku sendiri seperti sejak dulu, Raisa masih terdiam dan ingin menikmati kesendiriannya. Mungkin pulang sekolah perasaan Raisa sudah membaik.

Tinggal satu pelajaran lagi setelah istirahat kedua ini. Tetap saja, aku mengantuk. Pelajaran sejarah memang seperti cerita sebelum tidur, hampir seluruh temanku, eh. Hampir semua murid di kelas ini tertidur karena pelajaran ini. Terkecuali lelaki itu. Ia memang rajin, pandai dan siap menerima pelajaran apapun dalam hawa seperti ini. Iya, siapa lagi jika bukan Fareza. Sesekali aku menatapnya, dan terbesit senyuman di mulutku, ya meski tatapanku tak pernah dibalas olehnya. Sudahlah Vira, kau terlalu berharap.

Jam pelajaran ini sudah habis, kelas Raisa sudah keluar 15 menit sebelum kelasku, aku bergegas mengejar Raisa yang sedang berjalan dengan tertatih-tatih.

"Raisa!" 

Teriakanku membuat Raisa menengok ke arahku. Tapi, tak terlihat senyuman di wajahnya, teriakanku pun tak dibalas olehnya. Ia kembali berbalik arah. Tetap kukejar dan akhirnya posisiku dengannya sama.

"Raisa! Kemarin aku belum sempat berterima kasih padamu."

Dia hanya mengangguk dan kembali diam.

"Sa, tolong jangan begitu dong. Masa aku harus kembali sendiri. Kan kamu bilang aku jangan sendiri lagi."

"Maaf, Vir. Kali ini aku pengen sendiri."

Aku tercengang ketika seorang Raisa mengatakan kalimat itu kepadaku, kok rasanya jadi aku yang bersalah? Sudahlah, aku harus mengerti, mungkin saja Raisa masih kepikiran hal kemarin, soal Fareza.

Antara Sepi Dan SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang