Prolog

14.7K 835 36
                                    

Suara ketukan berulang pada daun pintu membuat Hana batal mencapai alam mimpi. Jemarinya mengucek mata, memaksa kelopak untuk tetap terangkat. Wajahnya yang putih pucat itu terlihat letih. Ia melangkah berat ke sumber suara.

Dibukakannya pintu. Ia bergeser sedikit ke samping mempersilakan lelaki berpakaian berantakan itu masuk dengan leluasa. Kemeja tidak rapi, dasi longgar, jas di pundak serta langkah kaki gontai dari lelaki itu mencegah Hana bertanya banyak tentang keadaannya.

"Mau aku siapin teh hangat, Mas?" tanya Hana hati-hati. Saat-saat seperti ini, lelaki yang telah sah menjadi suaminya hampir lima bulan itu sangat sensitive saat lelah.

"Ya." Jawaban singkat itu terucap dengan nada pelan. Hana bungkam saat mendengarnya. Ia mengunci pintu utama sebelum beranjak ke dapur memberikan pesanan lelaki itu.

"Hana, ambilkan ponsel di ruang kerjaku. Charge yang ini."

Hana mendekat untuk bisa menerima sodoran gawai dari penyuruh.

Banyak rasa penasaran dalam hatinya saat ponsel itu ada di tangannya. Ingin dibuka, tetapi tidak bisa. Selalu ada kata sandi yang menghalangi keinginannya. Ia hanya pasrah oleh keadaan.

Sesampainya di ruang kerja, Hana celingak-celinguk mencari benda pipih berwarna hitam.

Di mana suaminya menaruh benda itu?

Serasa tertolong, dering ponsel terdengar di sudut ruangan, tepat di atas meja.

Amel.

Diteguknya saliva dengan kasar saat nama itu terpampang jelas di layar ponsel. Bahunya menegang seketika. Jari gemetar yang mulai lembap oleh peluh dingin itu bergerak, ingin menggeser icon hijau.

"Halo ...." Nada bicara Hana bergetar. Ia sampai menggigit bibir saat mendengar suara jernih di seberang sambungan. Umpatan yang mengisi indra pendengaran gadis itu.

Hana tidak bisa berlama-lama dengan ponsel itu. Karena langsung terenggut dari tangannya. Si pemilik ponsel tetiba muncul dengan wajah datar. Bibir mengetat tipis dan tatapan mata nyalang cukup membuat Hana merutuki kebodohannya.

"Halo, Sayang ...."

Hana menegang. Tubuhnya kaku. Kedua tangan di sisi tubuh meremas pakaiannya sendiri hingga buku jari memutih. Sakit, nyeri di dalam dadanya. Bodoh karena ia tetap bergeming mendengar setiap kalimat mesra yang ditujukan sang suami pada kekasihnya.

"Sudah berani kamu angkat telepon Amel, hah?" Bentakan tersebut keluar dari lelaki itu bersamaan dengan lengan Hana yang ditarik kuat. Wajahnya mendongak mendapati aura menakutkan dari suaminya.

"M-maaf ...." Hana meringis tertahan. Ia berusaha mengelak dengan cara memutar-mutar lengannya. Tidak berhasil. Hanya tetesan air mata yang mengucur sebagai bukti bahwa ia betulan kesakitan. Namun, lelaki itu tak acuh.

"Sepertinya kamu memang sangat suka dihukum, Hana!"

Hana hanya bisa pasrah saat ditarik kuat. Menolak pun tidak akan bisa. Karena perbedaan kekuatan yang begitu senjang.

Mungkin malam ini ia akan meringkuk karena dinginnya kamar mandi, atau terikat di sebuah kursi.

Besok, kulitnya akan semakin pucat atau punggungnya akan memerah.

Sama seperti yang lelaki itu lakukan. Hampir setiap hari.

💧💧💧

Bersambung ....

Mau dilanjut? Jangan lupa tinggalkan like dan komentar, ya. Karena setiap jejak dari pembaca adalah semangat untuk pembuat cerita :)
Kritik dan saran, silakan di kolom komentar :) Sebelumnya saya ucapkan terima kasih telah berkenan menyempatkan mata kalian membaca setiap kata dalam tulisan ini :)

Syukran wa jazaakumullahu khayr
Semoga cerita ini bermanfaat ke depannya

Bumi Allah, 11 Februari 2019

Banyu Biru💧

Istri yang TertolakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang