Happy Reading gaisyy...
Semoga pada syuka. ❤️Kau tahu, kabar terburuk bagi seorang ayah adalah ketika anak yang selama ini menjadi alasannya bekerja mati-matian, ternyata tidak bisa mencapai apa yang ia harapkan.
-Author
oooooo
Liana memasukkan se-sendok nasi ke mulut dengan gerakan pelan dan juga mengunyah secara perlahan. Rasanya pahit, ingin sekali ia mengeluarkannya tapi tidak mungkin karna akan merusak suasana makan malam ini.
Rambutnya ntah sudah berapa hari tidak disisir, membiarkannya terikat secara asal, sesekali ia menyisihkan bawang yang ada dipiringnya. Ia tidak suka salah satu bumbu itu karna terasa lincin di lidahnya dan menurutnya tidak enak.
Ibunya malam ini memasak sayur bayam yang ditumis dan sambal ikan teri campur tempe. Kalau saja ia tidak sedang memiliki masalah berat, pastilah ia makan dengan lahap.
"Kenapanya kau Liana?" Tanya Ayahnya heran, sebab yang ia tabu selama ini anak gadisnya selalu ceria, selalu suka membicarakan tentang kampus yang akan dimasuki. Tapi malam ini wajahnya terlihat sangat murung.
Liana tidak bergeming, dan tetap melanjutkan kegiatan makannya. Sebab sedari dulu ibunya sudah berpesan kalau ada topik yang mengarah ke emosi maka jangan dibahas saat makan, hal itulah yang membuatnya tidak mau angkay bicara sekarang.
Ayahnya baru pulang tadi sore setelah beberapa hari ikut mengurus kayu balok yang dijual ke kota. Ladang mereka yang semula berisi rambung kini menjadi kosong, katanya akan ditanami pisang dulu baru sawit. Sebab sekarang harga pisang lagi naik-naiknya sehingga ayahnya mantap membukanya, lagian getahpun sekarang harganya murah, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.
"Kenapanya borumu ini Rosma?" tanya ayahnya ke ibu Lia karna tak kunjung mendapat jawaban.
"Makan aja dulu bang, nanti kalau udah kenyang baru dibahas," sahut Rosma cuek sambil menambahkan nasi ke piring suaminya itu.
"Oii...yang sikitanlah makanmu itu Liana," ucap Ayahnya lagi ketika ia mencuci tangan di baskom kecil yang airnya khusus.
Merasa jengah akhirnya ia berujar setelah meminum air putih secangkir, "Aku diet yah."
"Anak jaman sekarang," jeda Ayahnya sambil geleng-geleng kepala, "Sikit-sikit diet, padahal bukannya yang gemuk kali."
Tidak ada yang menyahut omongan itu lagi. Liana memutuskan pergi ke ke kamar sedangkan ibunya fokus makan.
Suasana makan menjadi hening, nasi yang ada di pirinhgAyah Liana tinggal dua suapan lagi, "Si Arbi ini betah kalilah dia mengaji di rumah Kinah itu, sampai nggak ingat pulang," keluhnya.
Arbi adik dari Liana masih duduk di kelas empat Sd. Sifatnya sangat bertolak bekalang dengan kakaknya. Kerjaannya main-main, tidak pernah mau belajar. Nilainya di sekolah sangat rendah, guru-guru bahkan kadang geleng-geleng kepala.
Kinah adalah adik perempuan ayahnya yang membuka kelas untuk belajar ngaji di rumahnya malam hari. Adiknya itu tamatan dari pesantren sehingga banyak warga yang mempercayakan anaknya mengajdi di tempatnya, Rumahnya berada sekitar 20 meter dari tempat mereka, dan banyak rumah berjejeean sepanjang jalan sehingga mereka tidak terlalu khawatir soal Arbi.
"Bukan betah ngaji dia bang, keenakan main-main di rumah kawannya itu," ujar Rosma.
Anak terakhir memang selalu dimanja. Orang tua tidak tega memarahinya, cara mereka mendidik Arbi sangat berbeda dengan Liana dulu.
Gadis itu setiap malam pastilah selalu dijemput pas selesai ngaji. Tidak ada kesempat untuk iku Rehan dan yang lain main-main. Di rumah selalu dipantau dalam mengerjakan Pr, tidak boleh ikut menonton tv, ia harus di kamar membaca buku.
Perbincangan usai ketika Ayah Liana selesai malan. Ia pergi ke ruang tv dengan mancis sekaligus rokoknya. Tidak memakai baju, hanya sarung yang menutupi setengah badan.
Ibu Liana sendiri membereskan piring-piring, serta melipat tikar. Tidak lupa juga memasak air untuk membuakan teh manis pada Ayahnya.
Sedangkan Liana sendiri semakin merasa ketakutan di kamat. Jantung berdetak kencang, ia menggigit jari-jarinya tanpa sadar. Berulang kali ia berdiri berjalan mondar-mandir lalu duduk lagi.
Suara tv sudah terdengar, ia yakin sebentar lagi ibunya bakalan menyuruhnya memberi tahu soal kekalahannya. Ia masih tidak bisa membayanhkan bagaimana amarah ayahnya ketika tahu.
Selama ini ayahnyalah yang selalu memperingatinya untuk terus belajar supaya bisa mempertahakan prestasi yang dimiliki. Pria itu yang selalu melarang ibunya ketika ingin menyuruhnya mengerjakan rumah.
Tidak pernah sekalipun tangannya menyentuh piring kotor, mencuci, menyapu, dan lain sebagainya. Ia hanya pernah disuruh memasak air, membeli sesuatu di kedai, atau menjemuri pakaian. Itu semua dibuat janya untuk membuatnua fokus belajar.
"Ana," panggilnya dari pintu yang setengah terbuka, "Sana bilang sekarang, takutnya kalok kelamaan Ayahmu tidur."
Liana memghembuskan napas berat lalu berdiri, melangkah keluar mengikuti ibunya. Ayahnya yang sedang asyik menonton sekaligus menusuk gigiginya menatap heran dengan kehadirannya di sana.
Sepertinya ayahnya itu sudah lupa soal perkataan ibunya tentang pembahasan yang akan dibahas setelah makan, " Tumben kau ke sini Liana, apa nggak belajar? Udah pintar?" Tanya ayahnya beruntun.
"Bukan yah, aku mau ngasi tahu soal tes yang kuikuti semalam," ujar Liana dengan wajah menunduk.
"Kenapa? Anak ayah pasti luluskan? Orang pintar gini kok, selalu juara. Nggak mungkin enggak, dapat nilai berapa rupanya?" Tanya ayahnya lagi yang tidak peka dengan raut wajah Liana yang sudah pucat.
"Kau dengarkanlah dulu dia ngomong, jangan asik kau aja yang mau didengarkan," ucap Rosma yang juga ikut duduk di antarnya.
"Liana nggak lulus yah," ucapnya dengan hati pasrah.
"HAH!!!" Mata ayahnya melotot, kumis hitam di bawah hidungnya naik, "Yang apanya kerjamu selama ini LIANA? Percuma kau terus-terusan juara, nggak ada artinya. Kalau yang kayak gini aja nggak lulus," lanjut ayahnya.
"Sainganku bukan dari sekolah ini aja Yah, banyak lagi dari sekolah lain," ujar Liana dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah nggak peduli soal saingan yang kau maksud itu, yang ayah permasalahkan di sini soal kau, bertahun-tahun ayah mati-matian biayayai kau sekolah, berharap kau bisa kuliah di unimed itu tapi kalahnya juga. Katanya pintar, selalu juara. Cemananya anakmu ini Rosma, buat malu. Pantaslah tadi waktu di jalan banyak tetangga bisik-bisik melihatku. Rupanya gara-gara ini."
Lian sudah menangis, hatinya merasa tertusuk ketika ayahnya bilang kekalahannya itu membut malu. Iapun tidak ingin berada di posisi seperti ini, sepanjang hari dia sudah berusaha, terus belajar, sampai kepalanya sakit tapi hasil mengecewakan, seharusnya sekarang ia disemangi bukan dimarahi karna dirinyalah yang paling kecewa saat ini.
"Pigilah kau sana, untuk apa kau nangis di sini? Nggak ada gunanya air matamu, nggak bisa mengubah keadaan. Kukira yang pintar kalilah kau dulu, tapi rupanya sama aja, bodoh."
Setelah mendengar ucapa kasar ayahnya ia bangkit langsung masuk ke kamar. Menyakitkan memang, tapi setidaknya ia sudah melewati satu hal yang ia takutkan beberapa hari belakangan ini. Ia tidak tahu apakah bakalan kuliah atau di kampung ikut jejak orang tuanya bekerja di ladang.
oooooo
Terimakasih sudah mampir.
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya gais...🤗Follow ig: senja.hati06
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekuat Hati dan Sekuat Tenaga
General FictionAmanda Rosliana Purba merupakan anak yang paling pintar di sekolah. Setiap tahun ia selalu mendapat predikat juara satu umum. Semua teman-temannya takjub, setiap hari selalu ada saja yang minta diajari tentang beberapa materi yang mereka tidak paham...