3. Diajak ke ladang.

246 135 0
                                    

Happy Reading semuanya....

Yang orang tua tahu, kalau kamu pintar di sekolah maka di dunia kerja juga begitu. Dalam bayangan mereka kamu tahu segalanya, sehingga ketika satu pekerjaan yang ditugaskan tidak selesai, maka kata-kata 'Percuma disekolahkan' akan keluar.

Sakit memang, tapi itulah kenyataan yag tidak bisa dihindari.

-Author

oooooo

Jalan hidup seseorang memang tidak pernah bisa ditebak. Liana yang awalnya begitu dibanggakan kini lebih sering dicaci. Bayangkan saja, teman sebangkunya dulu yang selalu diajari dalam mengerjalan Pr, sekarang malah menyebar fitnah ke yang lain dengan mengatakan dirinya dulu kalau ujian itu mencontek.

Ketika ia berjalan ke kedai membeli bumbu sop para ibu-ibu yang sedang belanja  memandangnya sinis, berbisik-bisik, lalu tersenyum meremehkan padanya.

Dengan segenap ketabahan hati ia buru-buru menyelesaikan beliannya, dan keluar dari sana dengan mata berkaca-kaca, berulang kali ia mengambil napas, memejamkan mata, meyakinkan dirinya bahwa semua ini akan berlalu.

Tapi yang paling disayangkan, ntah kebetulan yang bagaimana, ternyata ada temannya yang melangkah berlawan arah, mau tidak mau mereka harus berpapasan.

"Eh! Tau nggak kelen?" Tanya salah satu temannya dengan suara kuat, "Semalam katanya ada yang mau kuliah di unimed. Udah sibuk memikirkan apa-apa aja yang perlu dipersiapkan, tapi tau-taunya nggak lulus, hahahhaha..." Lanjutnya tertawa yang diikuti temannya yang lain.

"Ya Allah... Kasian kali ya orangnya," sahut temannya lagi.

"Iya itulah! aturan sadar diri aja yakan. Di luar sana banyak sekolah yang lebih bagus, siswanya lebih pintar. Jadi kalok yang dari sekolah kampung kayak kita nggak usah sok bermimpi tinggi. Betul nggak?" Tanya orang itu meminta persetujuan.

"Betul kaliii..." Sahut mereka lalu melanjutkan langkah.

Air mata Liana sudah tak dapat dibendung lagi, ternyata seperti rasanya dikhianati seorang teman. Dulu mereka sangat baik padanya, kadang kalau tidak sempat mengajari ia rela memberikan PR yang sudah dikerjakan mati-matian secara cuma-cuma.

Ia segera menghapus air matanya dan lanjut melangkah. Untuk sekarang, tidak ada gunanya menangis, tidak akan ada yang peduli. Bahkan kemarin, ayahnya sendiripun tidak suka melihatnya menangis.

Setibanya di rumah ibunya langsung berteriak kesal, "Yang lama kalilah kau Ana, ngapan ajanya kau di kedai itu hah! Udah dibilangpun tadi cepat geraknya, kita mau ke ladang."

Ana diam saja, ia memberikan bumbu sop ke ibunya lalu melanjutkan pekerjaannya tadi yang tertunda yaitu menjemuri pakaian. Ia tidak berminat membalas perkataan itu karna hanya akan memperunyam permasalahan.

Adiknya Arbi sudah berangkat sekolah dari jam setengah tujuh tadi, diantar oleh ayahnya. Dulu ia selalu jalan kaki, ayahnya tidak sempat mengantar karna harus cepat-cepat ke ladang.

Sekarang saat semuanya sudah mulai berubah, teknologi semakin canggih. Ke ladang tidak perlu lagi jalan kaki, sudah ada motor, dan anak-anak sekolahpun lebih memilih diantar, atau membawanya sendiri.

Setelah menjemuri pakaian ia mendatangi ibunya di dapur yang sibuk mengaduk-aduk kuah sop. Ibunya memang memasak sop, tapi isinya cuman sayur biasa seperti kol wortel, kentang, buncis, tidak ada ayam, brokoli. Karna habis.

Sekuat Hati dan Sekuat TenagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang