Gue menghela nafas panjang, karena di kedai malam ini sangat ramai. Gue harus mengeluarkan tenaga ekstra agar pelanggan tidak kapok datang kemari. Disini gue dilatih untuk tidak mengeluh didepan pelanggan padahal dibelakang layar keluhan-keluhan para karyawan disini sudah seperti angin berseliweran, gue juga harus mempertahankan rekahan senyum biarpun bibir ini lagi sariawan, ya, paksa, dan yang paling penting adalah tidak peduli bagaimana suasana hati gue didepan pelanggan tetap harus bersikap ramah. Berat? Banget, tapi mau bagaimana, ya beginilah kehidupan gue.
Tapi gue menikmati apa yang gue kerjakan. Meskipun sebagian orang menganggap menjadi pelayan itu pekerjaan yang hina. Bagi gue, tidak. Selama apa yang gue kerjakan adalah sesuatu yang halal dan baik. Seorang pekerja keras akan lebih siap melawan dunia dibanding yang hanya sibuk meremehkan usaha orang lain. Dunia itu keras. Tidak banyak yang mampu bertahan oleh guncangan ekonomi yang fluktuatif. Anjay, beraaaattttttt~
Saat gue sedang menatap masa depan yang cerah melalui jendela imajinasi gue. Tiba-tiba imajinasi gue lenyap, karena dari jauh gue lihat seseorang yang memakai topi merah marun berjalan memasuki kedai sederhana ini, gue kaget bukan main. Seseorang itu adalah seseorang yang tadi siang ketemu di masjid kampus Gita.
Gue harus cari tahu namanya, batin gue.
"Nang, lo tuh yang samperin. Ada pelanggan baru" pinta gue sambil mengadukan bahu.
Danang menyanggupi dengan sekali responan, seperti biasa, mengangkatkan kedua halisnya yang tebal. Antara menyombongkan kesuburannya terhadap bulu-bulu tubuh atau mati gaya dan belum menemukan gaya lainnya sebagai isyarat untuk tanda setuju.
"Jangan lupa tulis namanya" bisik gue.
Danang pergi menemui meja yang di tempati lelaki itu. Gue disini mantau Danang, sesekali memainkan jari, jantung gue deg deg deg-an, gue takut Danang gak berhasil menjalankan misi yang gue buat sendiri tanpa kesepakatan siapa pun termasuk Danang. Setelah beberapa menit kemudian, Danang ke dapur untuk memberikan kertas pesanan si pelanggan.
"Tadi kenapa lo nyuruh gue tulis namanya?" Tanya Danang.
"Emangnya lo gak tulis namanya?" Tanya gue gak mau kalah.
"Biasanya kan cuma nomor meja doang kan?" Danang menimpal balik pertanyaan gue.
"Jadi lo gak nulis namanya siapa?" Tanya gue yang semakin penasaran dengan sedikit lebih halus.
"Enggak" jawabnya polos.
Gue hampir saja menampar pipinya yang empuk itu. Hampiiiiiiiir saja. Danang memang begitu, iya, iya, tapi nyatanya tidak membuahkan hasil. Kecewa gue sama diri sendiri. Tahu begini, gue yang nyamperin dia.
Dalam kepala yang sudah dipenuhi kenangan-kenangan indah dan berbagai rekaman turut serta memenuhi sel-sel otak gue, masih tergambar jelas sepeda motor tua berwarna hijau lumut. Otak gue juga menyimpan bentuk, merk, dan warna helm laki-laki itu. Jadi, gue memutuskan untuk melihat-lihat motornya, siapa tahu ada stiker namanya yang selama ini ada namun tidak terjangkau khalayak ramai. Baru saja ide cemerlang ini tersirat, Danang dengan suara khasnya yang bikin gue bergidik, berteriak,
"Ini pesenan mas Ridwan mana? Kenapa lama banget?"Gue yang peka sekali terhadap apapun yang ada disekeliling gue, seketika otak gue menyerap ucapan Danang dengan seksama.
"Jadi namanya Ridwan?" Tanya gue.
"Iya mas Ridwan, lo daritadi nanyain dia mulu, aneh" gue tahu Danang mulai curiga."Ya gue kepo aja"
Disitu gue inisiatif buat mengantarkan pesanan mas Ridwan ke mejanya. Gue tancap dulu make up biar terlihat sedikit glowing.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHY IS DIFFICULT
General FictionTubuh anggun seseorang terjebak dalam sebuah nama yang begitu jantan membuatnya kesulitan untuk mendekati lelaki yang dia sukai. Setiap dia memberikan hadiah lengkap dengan surat justru menjadi teror bagi Ridwan. "Gila masa gue dipepet batangan" te...