Regret comes when you are failed to make a right decision. Aku tidak akan pernah terbiasa dengan penyesalan. I hate my strong memory yang tidak bisa memilih apakah sesuatu harus diingat dalam jangka pendek atau panjang. Otakku tidak bisa diajak kerjasama. Aku tidak bisa menghapal pelajaran yang mati – matian ingin kuingat, dan mengingat semua adegan yang pernah terjadi di hidupku dan memutarnya secara otomatis di kepalaku seperti piringan hitam. And I can't control it. My brain doesn't even ask my consent for using it too much. Ada banyak hari dimana aku tidak mampu mengontrol pikiran dan juga emosi yang ada di diriku. Seperti hari aku memberikan bunga di hari kelulusan Abyasa dan membuatku menyesalinya. Setiap waktu. Karena sesuatu yang ada di otak, akan memerlukan hati. Regret is something that I could never get used to. Almost every single decision, except the decision for me to stay in this work.
Yang aku nikmati dari pekerjaan ini adalah kemampuan untuk mengendalikan sesuatu. A journalist hold a special power in their hand to something big, it could lead to a cooperation or war. Se-powerful itu dunia jurnalisme yang kemudian membuatku merasa nyaman di dalamnya. Kepikiran aja, kamu memiliki kekuatan untuk mengontrol opini publik. Sesuatu yang baik bisa menjadi buruk, dan buruk bisa menjadi baik. You are the decision maker. Dan aku bisa memberikan keputusan terbaik dalam memberikan fakta yang bisa berdampak positif ataupun negatif. Apapun itu, aku adalah sang pengendali. Dan sejauh ini aku belum pernah menyesali satu statement atau artikel pun yang kubuat selama menjadi jurnalis di CBN.
Dan yang tidak terlalu aku nikmati adalah kenyataan menjadi seorang decision maker untuk sebuah publikasi artikel tidak melulu memberikanku kebebasan sebagai decision maker untuk hal lainnya. Work in this field could be heaven full of freedom, but the number is odd. Sebagai seorang jurnalis junior di CBN selama dua tahun terakhir ini, aku tidak memiliki kebebasan untuk membuat sebuah publikasi yang lebih dari sekedar "berita" dan "fakta". Ketika beberapa orang mendapatkan kolom opini yang memberikan leluasa untuk memberikan broad perspective dan opini dalam sebuah isu politik. Tentu saja aku sudah pernah memperjuangkannya, tapi ternyata power yang biasa kumiliki tidak bertahan di dunia kerja. In real life, real work, you are just a piece of paper. A high chance to write new things on you, and another high chance to get dump with other piece of paper. You will face restriction, and at the same time deal with people.
Mengingat masa kuliahku dengan semua paper yang menumpuk setiap minggunya. Membaca puluhan kali teori dari Waltz, Morgenthau atau Carr dan berkembang menjadi ide – ide lainnya oleh para philosopher yang meskipun kubaca berkali – kali tetap tidak kuingat sampai aku memutuskan berguru pada Abyasa. Another story. Lalu memandang analisis dari segi individu, negara sampai internasional. All of those shit I learned doesn't work here. I'm not the decision maker, nor the thinker. Dunia kerja tidak selalu berkesinambungan dengan ilmu yang dipelajari saat kuliah, bukan? Aku tidak memiliki hak untuk memberikan opiniku, karena satu – satunya keputusan yang boleh kuambil adalah tulisanku yang berisi berita yang merupakan fakta. No less, no more.
Teringat Abyasa mengingatkanku pada passionate Hanum yang telah lama menghilang. Terkubur jauh bersama ambisi yang kusimpan sejak jauh – jauh hari. Sesuatu yang kebanyakan orang bilang adalah menjadi orang dewasa berarti menyingkirkan ego dan menjalankan hidup. I have an average life. Apartment yang masih dicicil selama lima tahun lagi, mobilku yang sudah tua dan membuatku malas untuk membawanya ditengah Jakarta yang macet karena takut mati ditengah jalan dan hidupku yang sudah bebas dari adik – adikku. The second child, Harin sudah bekerja di Korea menjadi seorang guru bahasa inggris setelah lulus dari hubungan internasional sepertiku. Sementara Hara, anak terakhir akan lulus tahun depan dari jurusan teknik yang menjamin hidupnya.
Sejenak aku teringat kembali ucapan Abyasa di akhir pertemuan kami. Kenapa tidak, jika itu kamu adalah kalimat yang menurutku terdengar romantis. Dia terdengar tulus dan membuatku tersenyum mendengarnya. Goodness, my heart beats so fast and it makes me scare. Bagaimana jika aku benar – benar menyukainya?
Ditambah lagi dengan aku – kamu diantara kami yang membuatku sedikit merinding. How can it turn my imagination into something sweet? We never been a cute friend to each other. Apa aku merasa hal ini karena kita sudah tumbuh menjadi dua orang dewasa disini? Dulu sekali, aku memanggilnya kak. Kita cukup sering melihat satu sama lain. Perpustakaan kami dengan meja panjang yang diduduki banyak orang menjadi spot favorit bagi mahasiswa baru sepertiku. Dan dia seniorku yang memang terkenal cerdas juga menyukainya. Kemudian kami dipasangkan dalam sebuah karya ilmiah membicarakan mengenai masalah perang Syria yang menantangku dan dia. Lalu International Humanitarian Law Debate, debat yang membicarakan mengenai hukum kemanusiaan internasional yang mendebarkan dan pertama kali kujalani seumur hidup.
"Kak, chemical weapon ini bukannya melawan International Humanitarian Law Rule 74 ya?"
"Kak, bagaimana mengenai neo-institution liberalism approach dalam hal ini?"
I was a kind person, back then. Too innocence for life. Sebenarnya Abyasa bisa saja memanggilku dengan "lo" kepadaku. Namun, ia selalu memanggilku "Hanum" atau "kamu". Dan ketika kutanya, dia bilang "karena kamu memanggil aku dengan sopan". Dan aku juga bukan tipikal orang yang bisa memanggil Abyasa dengan "lo". He has my respect. Seseorang yang cerdas, humble, never fail to impress me. You know, a charismatic leader.
Alasanku sekarang adalah karena aku merasa sudah terlalu dewasa untuk memanggilnya "kak". Atau mungkin aku yang terlalu malu untuk memanggilnya sebutan itu? A part of adult me feeling embarrassed and awkward to say it. To someone that I admired in the past. I want to narrow the gap. Karena satu – satunya gap diantara aku dan dia, selain perbedaan usia tiga tahun adalah fakta bahwa Abyasa sedang merintis karirnya yang selama ini jadi bagian dari rencana hidupku.
Aku menarik napas panjang, menyadari berapa banyak emosi yang kukeluarkan hari ini. Aku paham bahwa dari ribuan siswa jurusan hubungan internasional yang lulus setiap tahunnya, mereka sudah dibekali kesadaran tentang bagaimana seseorang yang belajar mati – matian di jurusan ini belum tentu bisa mendapatkan kerja di dunia yang sama. In fact, it may be just a dream for some people. Diplomat adalah pekerjaan ideal yang semua siswa ingin lakukan di tahun pertama, lalu bekerja di NGO dalam dunia yang low politic namun tetap menantang. Tahun ketiga kamu akan berpikir untuk mencari pekerjaan normal yang membutuhkan kemampuan bahasa, analisa dan politik. Apapun itu. Tahun terakhir, adalah sebuah pencapaian jika kamu tahu apa yang akan kamu lakukan.
Selalu masuk dalam golongan orang – orang yang percaya bisa melakukan apapun yang kuinginkan, aku tidak menghitung kemungkinan aku berakhir dengan jalan yang tidak pernah kupikirkan. The only reason why I am in despair today is because I realize I waste myself, too much.
Three bottle of soju and two kids playing on my television.
Goodness, mengapa hari yang baik ini berakhir dengan perasaan yang buruk?
KAMU SEDANG MEMBACA
In Front and Behind [discontinue]
General FictionAdiratna Hanum Kemala, seorang jurnalis yang memendam cita - citanya dalam dunia politik bertemu dengan Abyasa Bagaskoro, seorang staff menteri luar negeri muda yang memiliki kemampuan tinggi di bidang politik. Sebuah pertemuan yang kebetulan mempe...