Hal yang paling susah untukku adalah untuk mengakui bahwa aku lemah dan membutuhkan orang lain. Aku benci merindukan orang lain, benci memiliki rasa untuk menghubungi orang lain dan benci untuk bergantung dengan orang lain. I embrace my loneliness. Kupikir begitu, sampai satu minggu terakhir dengan pekerjaan yang mulai membuatku bosan, aku terpikirkan tentang dia.
Dalam tiga bulan terakhir, ia terlihat berusaha keras mendekatiku, menjemputku saat ia memiliki waktu sebentar untuk sekedar ngobrol dalam perjalanan pulang. Menyempatkan waktu untuk bertanya apa yang aku rasakan dalam satu hari. It is obvious that he likes me. Kakak tingkatku yang menarik perhatianku dan menjadi teman baikku bertahun – tahun kemudian mendekatiku. It seems like a normal story.
Tapi mengapa untukku, aku terus memikirkan bagaimana jika aku merasa membutuhkannya? Aku ingin menghubunginya ketika ia tidak menemuiku. Aku ingin mengajaknya berbicara berjam – jam seperti dulu kami lakukan. Aku ingin dekat dengannya. Perasaan yang aku hindari untuk tumbuh dalam waktu dekat ini. Aku tidak tahu cara menghadapinya.
Dan solusi terbaik yang aku lakukan adalah getaway. Well, atau aku bilang runaway. Menghindarinya.
"Apa yang salah dengan suka sama Aby?" cetus Naomi dengan santainya kepadaku yang duduk disampingnya menonton TV. Getaway yang paling sering aku lakukan adalah mengunjungi Naomi, teman satu kampus dan perjuangan yang sudah menikah dan mengurus institusi pendidikan di Bandung. Sesuatu yang jauh sekali dari dunia politik.
"Ya, gak salah sih."
"Cuma takut aja, iya kan?" Memang sahabatku Naomi ini terlalu mudah dalam memberikan komentar. Tidak ada kata yang disaring ketika membicarakan sesuatu. Kadang bingung bagaimana Panji, lawyer ternama di Bandung itu bisa suka banget dengan dia.
"Well, gak juga,"
"Ayolah, lo selalu memberikan alasan kayak gini. Belum waktunya, ada hal yang harus lo lakuin lebih penting, keluarga lo, masa lalu lo, anxiety lo itu terlalu banyak. Lo harus mengambil langkah baru, Hanum."
Unfortunately, she is always right. Mungkin karena sudah menjadi roommate ku selama empat tahun di bangku kuliah dan mengetahui hidupku luar dan dalam membuatnya dengan mudah membaca yang ada di pikiranku. Naomi sering membicarakan hal yang sama, dan aku mengelaknya.
"Sampai kapan? Lo manusia, butuh cinta, butuh pasangan. It's normal. Gue juga sangat senang dia mendukung lo untuk mengejar apa yang selama ini lo inginkan,"
Aku menatap Naomi dengan serius dan menghela napas, perempuan di depanku ini sangat straight to the point yang membuatku merasa sulit untuk menjawabnya.
"Tapi,"
"Harin dan Hara udah lulus. Mereka udah dapat pekerjaan. Ibu lo udah menjalankan usahanya dengan baik. Gue gak bisa maksa lo untuk melupakan ketakutan lo, tapi stop mikirin orang lain,"
"Tapi kan gak semudah itu,"
"Selama ini gue membiarkan lo karena meskipun lelaki di luar sana banyak yang menyukai lo. Lo gak suka sama mereka. Tapi kali ini, lo juga suka sama Abyasa. Lo juga selalu nyambung dan nyaman sama dia kan dari dulu kuliah,"
"He doesn't deserve me, he deserve better,"
"Better seperti apa yang lo pikirkan? Gue tahu dan paham sekali tentang apa yang lo bilang pikiran lo memutar hal – hal buruk yang terjadi dalam hidup lo. Tapi lo juga punya hak untuk mengambil keputusan, mungkin akan menjadi memori yang baik. You both deserve each other. Apa yang kurang dari lo? Cantik, pinter, pekerjaan bagus."
Naomi membaca pikiranku dengan mudah. Pujiannya berlalu seperti angin bagiku.
"Gue akan sangat senang jika lo bisa merasakan cinta. Ini bukan soal novel picisan diluar sana bercerita tentang cinta yang ideal. Lakuin aja, jalanin."
"He said he want to be a part of my life." Jawabku lirih kepada ucapan Naomi. Aku tahu bahwa cinta dan hubungan lebih dari sekedar novel picisan. Abyasa bukan orang yang akan menghalangi diriku atau individualitas ku. Lebih dari itu, aku takut untuk merasa membutuhkan dia nantinya. Lalu kembali merasa sakit hati.
"So what, you like him, he likes you."
Aku menatap Naomi dalam, sementara sahabatku yang ada disampingku ini mencoba membaca pikiranku. Tayangan televisi di hadapanku ini sudah tidak lagi menjadi perhatian kami, hanya pembicaraan yang cukup dalam antara dua sahabat.
Berkali – kali aku berpikir, "Ah, ternyata seorang laki – laki bisa mencintai perempuan begitu dalamnya" setiap kali Panji menatap Naomi atau berpikir, "Ternyata pernikahan tidak terlalu buruk," ketika Naomi bercerita hal – hal yang membuatnya kesal karena Panji marah besar karena ia kecapekan saat pulang kerja terlalu malam atau Panji yang melarangnya membawa mobil setelah terlibat kecelakaan dan tangannya patah. Berkali – kali pula aku memikirkan apa yang aku rasakan jika hal yang sama terjadi padaku.
"I don't want him to be a part of my mess up life,"
***
Lembang pagi ini sungguh dingin, seperti biasanya. Aku menghirup udara segar pagi hari ini, berjalan ke kebun teh yang terbentang luas. Setiap kali aku melakukan weekend getaway ke Bandung, yang sebenarnya lebih cocok disebut lari dari kenyataan, aku menghabiskan malam di Lembang. Agaknya tidak menyenangkan menganggu Panji dan Naomi dirumah mereka malam minggu. Apalagi setelah Naomi yang mengoceh panjang karena ia terlalu frustasi denganku.
Jadi aku kembali ke spot yang biasa aku kunjungi. Lembang.
Pekerjaanku sebagai jurnalis tentu tidak flexible, jarang sekali jurnalis mendapatkan jatah ijin atau libur hari minggu. Untungnya kali ini aku mencover masalah debat presiden yang bisa kudapatkan dari media setelah debat calon presiden tadi malam. Kusempatkan juga menulis di blog mengenai pandanganku mengenai policy yang diberikan kedua calon kandidat. Kuselesaikan juga satu jurnal mengenai kasus South China Sea yang sedang menjadi isu.
Teh jahe ini membuatku merasa hangat ditengah Lembang yang dingin. Kadang aku masih berpikir bagaimana aku bisa menghemat selama ini untuk memenuhi kebutuhan dua adikku tapi dengan mudahnya membayar hotel untuk menghabiskan weekend di Lembang. Sungguh salah satu cara menghabiskan uang dalam waktu singkat.
Minggu lalu, ketika ia mengantarkanku pulang untuk kesekian kalinya, ia tiba – tiba bilang, "Hanum, kamu tahu aku adalah orang yang serius kan. Aku serius sama kamu," ucapnya yang membuatku terdiam untuk waktu yang lama. Aku bukan orang polos yang tidak menebak hari seperti itu akan tiba, tapi mendengarnya langsung membuatku merasa khawatir dan takut.
"I want to be a part of your life," ucapnya lagi menatapku dalam – dalam sebelum aku keluar dari mobilnya. Malam itu, tanpa peringatan, tanpa pernak – pernik. Jantungku berdebar olehnya.
Abyasa berhasil membawa hidupku belakangan ini dengan berbagai keputusan baru. Mendukungku untuk mengambil master degree dalam waktu dekat, entah itu beasiswa di Indonesia atau luar negeri. Membuka kesempatan untuk menjadi jurnalis yang sesungguhnya, menulis jurnal satu per satu membukaku ke dunia yang aku sukai. Ia membuatku menyukainya begitu dalam.
Lalu aku tersenyum membalasnya, menatapnya dan menciumnya. Menyadari aku begitu menyukainya.
"Please give me time," jawabku setelah melepaskannya dan keluar dari mobilnya. Sejak hari itu, aku belum menghubunginya.
Everyone has something to hide.
Andthis time, I want to hide
KAMU SEDANG MEMBACA
In Front and Behind [discontinue]
General FictionAdiratna Hanum Kemala, seorang jurnalis yang memendam cita - citanya dalam dunia politik bertemu dengan Abyasa Bagaskoro, seorang staff menteri luar negeri muda yang memiliki kemampuan tinggi di bidang politik. Sebuah pertemuan yang kebetulan mempe...