"Kamu ingin ambil cuti?"
Tanya Putra, atasanku yang sudah bekerja denganku selama dua tahun kebelakang ini. Selama ini ia sudah menjadi atasan yang sangat baik, membiarkanku tidak ke kantor saat weekend setiap kali aku menghilangkan diri ke Bandung dan sedikit demi sedikit memberiku celah untuk mengembangkan ide berita walaupun tetap dalam restriction karena aku hanyalah junior journalist.
Dalam dunia berita, junior journalist masih jauh dari kata jurnalis yang sesungguhnya. Apalagi dalam media cetak, online maupun offline. Tidak ada waktu libur untuk jurnalis karena berita berjalan 24 jam dan tidak juga membuat nama kita naik seperti jurnalis dalam media televisi. Bekerja di balik layar bukanlah pekerjaan yang mudah. Sementara kompetisinya semakin tinggi dengan banyaknya jurnalis di luar sana yang bekerja freelance di media online dan bisa saja memberikan data yang tidak akurat. CBN adalah satu dari media yang berhasil survive ditengah persaingan media online dengan kepercayaan yang diterima di seluruh dunia. Gaji yang cukup untuk menyicil apartment dan makan siang di kantor setiap hari. Ada banyak jurnalis yang memiliki gaji UMR diluar sana. Seperti halnya copywriter yang dianggap tidak melulu menghasilkan dan mendapatkan complain. Aku adalah salah satu yang berhasil survive diantaranya.
"Begitulah, pak."
"Berapa lama?"
"Empat hari," jawabku lagi.
"Kamu benar – benar cuti? Tidak menulis berita di luar kantor?" ucapnya lagi. Ia merunjuk ke weekend dimana aku meminta ijin untuk bekerja diluar kantor. Pak Putra biasanya membiarkan jurnalisnya untuk bekerja diluar kantor saat weekend asalkan memiliki bahan yang bagus, diserahkan sebelum deadline tengah malam saat koran biasanya dicetak atau pagi saat berita online dimuat.
"Iya, pak. Ada sesuatu yang harus saya selesaikan." Jawabku dengan tenang. Meskipun dalam hati ketar ketir.
"Okay,"
"Serius pak?"
"Iya, silahkan. Kamu juga belum pernah ambil cuti dua tahun ini."
"Makasih, pak. Berarti nanti saya submit artikel terakhir ya pak,"
"Nanti bilang Rani untuk hubungi saya. Biar dia gantikan kamu." Ia menyebut salah satu junior journalist yang baru masuk satu tahun yang lalu.
"Siap pak."
Aku membalikkan tubuh setelah mengucapkan terima kasih dan salam, kemudian teringat sesuatu.
"Tadi saya melihat kesempatan untuk jurnalis CBN TV. Jika boleh, bisakah saya ikut mencoba?"
Pak Putra menghembuskan napas menatapku dari kursinya.
"Kamu itu sekali ada kondisi, sekalian ya."
Aku meringis tersenyum kearahnya, menunggu jawabannya.
"Yasudah, kamu coba. Semoga setelah pulang dari Batam, kamu lebih siap menantang diri dalam bekerja."
Aku tersenyum lebar dan mengangguk, "Siap pak. Makasih banyak," Baru kali ini aku merasa lega dalam melakukan sesuatu.
**
Being on a plane force us to think for things we do not want to. Waktu yang kita punya diantara jarak ribuan kilometer dan diatas ribuan kaki dari permukaan bumi mendekatkanku dengan hal – hal yang tidak ingin aku pikirkan. Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk tidak memikirkannya.
Rasanya perjalananku kali ini adalah sebuah momen percaya diri yang kemudian membuatku takut. Bagaimana reaksi ibuku dengan aku pulang ke rumah tiba – tiba disaat aku selalu menghindari pulang saat lebaran? Sesaat aku menyesali keputusanku untuk pulang ke rumah.
Saat aku harus menghandle usaha pendidikan mama beberapa tahun setelah lulus kuliah karena suatu alasan, aku sudah melewatkan kesempatan beasiswa S2 ku yang ada di depan mata. Chevening menjadi angan – angan semata untukku beberapa tahun kebelakang ini. Dan setelah mama memutuskan menikah lagi dengan seseorang yang aku tidak pahami siapa, aku meninggalkan usaha yang sudah cukup well-established di tanganku padanya. And I never want to look back. Menyakiti hati rasanya melihat sesuatu yang kamu perjuangkan menjadi sia – sia. Mama menjalankannya bersama suaminya yang baru itu yang menggunakan bisnis keluarga kami untuk membantunya masuk ke dunia politik.
Lalu aku kembali mencari karir yang sayangnya terlalu terlambat untukku. Salah satu teman angkatanku di kampus, Ririn sudah bekerja di UN Charter dan menjadi konsultan pertahanan Negara dengan gaji rata – rata 300.000 dollar pertahunnya. Seperti yang dulu aku juga dengar, Abyasa memulai karir politiknya di kementerian pertahanan negara setelah menyelesaikan S2 nya di Oxford.
The insecurity that I have, the betrayal led me to become a journalist. Setidaknya aku tidak mendapatkan pekerjaan yang bertentangan dengan hatiku, menulis berita yang menitihberatkan satu pihak misalnya. Akan merasa sangat rugi jika aku melakukannya, memikirkan waktu yang kuhabiskan untuk belajar mati – matian. Dengan uang yang kupunya dan gaji yang kuterima dari usaha mama karena kontribusiku selama ini kugunakan untuk menyicil apartment dan menyekolahkan adik – adikku.
Mama dan segala hal yang ia percayai di kepalanya. Juga keras kepalanya yang menyakiti aku dan adik – adikku. Pada nyatanya, kenyataan tidak sesuai dengan bayangan yang kumiliki. Kupikir di usia dua puluh lima aku akan menjadi wanita karir yang bekerja menjadi pembicara PBB, memakai heels dari Loboutin dan dress dari Balmain lalu pulang menikmati makan malam dengan pacarku.
Aku tidak ingin kami bergantung dengan mama yang menganggap lelaki itu adalah hero di kehidupan kami. Hero karena telah melepas aku dari tanggungjawab di kantor dan membiarkanku melalang buana yang nyatanya tidak semudah itu bisa kulakukan dengan waktu dan tenaga yang sudah kuhabiskan selama ini untuk usaha keluarga kami. Aku melupakan angan – anganku untuk mengejar karir di dunia itu yang sulitnya setengah mati dengan pengalamanku yang zero di dunia itu. Aku tidak ingin melewati semua kerja keras yang tidak pasti. Segelintir yang bisa menjadi anggota PBB atau konsultan pertahanan, meskipun dulu sekali aku sangat percaya diri bisa melakukan semua itu, ujung – ujungnya aku merasa takut pula untuk mendaftar menjadi abdi negara dengan gaji yang seadanya. Tidak cukup untuk membiayai adikku dan hidupku di Jakarta.
Dulu di penghujung usia 19 ku, aku mengejarkan sebuah tugas dari usaha keluarga kami dengan mengunjungi Eropa. Lalu kemudian aku menghabiskan dua minggu setelahnya melompat dari hostel satu ke yang lainnya backpacking tanpa tujuan. Menyambut usia dua puluhku dengan solo travelling. Aku sempat mengunjung UN Headquarter di Geneva dan berkali – kali berdoa didepannya agar suatu saat aku bisa bekerja disana. Tapi perjalananku terhenti sebelum aku bisa mengunjungi Oxford, tempat dimana aku ingin menempuh ilmu.
Yang berlalu mungkin sudah berlalu, tapi kenapa waktu tidak bisa menghapus kesedihan yang aku miliki setelah bertahun – tahun lamanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
In Front and Behind [discontinue]
General FictionAdiratna Hanum Kemala, seorang jurnalis yang memendam cita - citanya dalam dunia politik bertemu dengan Abyasa Bagaskoro, seorang staff menteri luar negeri muda yang memiliki kemampuan tinggi di bidang politik. Sebuah pertemuan yang kebetulan mempe...