ENAM

8 1 0
                                    




Aku menghela napas dalam. Sesuatu yang sering aku lakukan ketika memulai dan mengakhiri sesuatu. Hari selalu terasa panjang dan satu – satunya cara untukku tetap merasa bernapas adalah dengan menarik napas panjang. Yang mungkin bisa meringankan beban di dalam dada.

Apakah Jakarta yang membuat aku seperti ini atau aku memang seperti ini. Tapi Hanum yang menjadi dewasa adalah karakter yang melelahkan. Hanya mendesah panjang menatap bangunan tinggi ibukota yang tidak pernah tidur dan membiarkan harinya kembali berjalan tanpa sesuatu yang berarti. Mereka bilang, keputusan yang kamu ambil akan membentuk bagaimana masa depan kamu nanti. Lalu membuatku berpikir apakah keputusanku yang salah untuk melakukan sesuatu yang benar?

Bukan keputusanku untuk berakhir kuliah jauh dari orangtua, sendirian, kesepian berhari – hari di dalam kamar yang sempit dan membuatku sulit bernapas sementara dianggap sedang melakukan sebuah perjuangan. As if I am in a battlefield. Bedanya, aku berada di dalam perang dengan diri sendiri. Entah karena aku yang terlahir sentimental atau Jakarta yang membuatku rindu akan rumah. Aku selalu rindu akan rumah.

Pada nyatanya, untuk menghindari beban akan keputusan yang kuambil itu, dan diriku yang tidak sanggup menyalahkan orang lain, aku memilih menyalahkan dunia. Dunia yang memiliki andil besar dalam setiap langkah yang kujalani. Batu yang menjatuhkanku, angin malam yang membuatku sakit, dan para manusia didalamnya yang membuat hidupku semakin sulit.

Mungkin aku memang tak cocok untuk tinggal sendirian. Bukan karena aku takut tidur di kamar kost-ku dulu yang tidak jauh dari kuburan atau saat ini, di dalam apartmentku yang terlalu luas untuk ditinggali sendiri. Aku hanya terlahir seperti ini. Awalnya aku menikmati jauh dari rumah, kebebasan yang tidak bisa aku dapatkan tinggal dengan ayah tiri yang kubenci setengah mati karena menyakiti ibuku yang terlalu bodoh untuk tetap mendukungnya dan membuatku muak. Lalu dipenuhi kesibukan yang membuatku merasa tinggi, dukungan dari orang – orang yang baru mengenalku dan membuatku terikat. Seorang mahasiswa yang cerdas dan menyenangkan, selalu jadi perwakilan kampus dan dibutuhkan banyak orang. Tapi seperti yang banyak perantau bilang, semakin jauh dari rumah, semakin kamu akan melakukan apapun untuk mendengar kicauan orangtua atau suara adikku yang bertengkar atau nenek yang menyuruhku makan siang.

Ada banyak hari dimana aku mengurung diri di kamar, berharap seseorang menghubungiku untuk keluar dari dalam kamar ini. Berharap Mama menelponku dan bertanya kabarku dalam hari ini. Atau terkadang berharap aku kembali ke lingkungan lama dimana masa kecilku tinggal. Diteriaki setiap pagi untuk bersiap ke sekolah. Jalan ke sekolah bersama. Membeli pisan molen di tengah jalan dan bersembunyi di perpustakaan ketika telat. Dengan orang – orang yang tidak kuingat lagi tapi membuatku merasa tenang setiap mengingat mereka. The old neighborhood that I missed the most. Sebelum keputusan demi keputusan diambil semasa aku beranjak remaja dan dewasa.

Dan setelah keputusanku hari itu, aku menghancurkan segalanya. Keputusan yang kita anggap baik belum tentu akan berakhir baik. Seperti dokter dalam perang dunia yang berakhir mati setelah mendukung musuhnya, atau fotografer Dickey Chapelle yang berakhir tragis setelah bertahan mengambil banyak foto yang lebih dari sekedar portrait manusia saat perang dunia kedua.

Yang lebih lucu adalah kenapa aku terguncang untuk memilih. Kenapa aku berpikir untuk memilih ketika bertahun – tahun aku dihadapkan ke sebuah jawaban yang obvious. Untuk tidak jatuh cinta dan mencintai orang lain. Aku bahkan tidak tahu cara mencintai diriku sendiri. Tapi mengapa pertanyaan itu menjadi sebuah pilihan untukku. Aku terbiasa untuk berpikir bahwa kesepian adalah hal yang wajar dan menjalani hidup hari ini adalah hal yang paling penting.

Aku adalah perempuan muda dan independent. Melakukan semuanya sendiri, mengerjakan pekerjaannya dengan baik, tidak lemah untuk menjalani hidup dan tidak butuh lelaki untuk sekedar mengganti bola lampu atau menemani ketika sakit. Namun kenapa Panji membuat aku menginginkannya juga. Bahwa wajar jika aku membutuhkan seseorang untuk bersandar dan berbagi cerita dan menjadi bagian dari hidupku di kota ini.

Ternyata aku bosan dengan kehidupan yang monoton ini. Aku ingin mengambil tantangan. Aku ingin menantang diri untuk muncul di depan televisi daripada belakang layar. Aku ingin menjadi jurnalis yang bisa menyiapkan diri dalam variable – variable lainnya yang akan muncul di lain hari. Aku ingin menyelesaikan mimpi yang tidak tercapai sebagai seorang diplomat. Aku ingin mengambil keputusan dan melihat sesuatu lebih jauh. Aku ingin melihat dan menelusuri satu hal yang sudah menjadi keputusanku. Termasuk melihat tantangan seperti apa yang akan kudapatkan dalam sebuah hubungan.

I want to see myself with Panji.

Melihat apa yang akan muncul di hadapanku nantinya. Mengejar apa yang aku ingin kejar.

Aku membuka ponselku yang kumatikan sejak meninggalkan Bandung tadi. Delapan miscalled dari Naomi. Pesan dari Pak Putra untuk membuat berita mengenai masalah lingkungan yang menjadi topik debat President kemarin.

Lalu pesan dari Panji yang semakin menghilangkan keraguanku terhadapnya. Keraguan bahwa semua laki – laki itu bullshit dan akan meninggalkanku begitu saja.

Hanum, I am not a man of word. But I want to lean on you when I am tired so you can do the same. I want you to endure the pain and I will endure mine. I want to make things possible for you. And for that, I will go higher to accomplish our dream. I want to walk the path together with you. I also need you, Hanum. Let's walk the path together.

In Front and Behind [discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang