Selama ini aku tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Aku tidak pernah merasa laki – laki bisa mencintai perempuan sepenuh hati dan aku tidak ingin dipermainkan oleh perasaan. Mama selalu mengomeliku dan bercerita tentang bagaimana ia menjalin kehidupan percintaannya di masa muda yang menurutku tragis. How is it become a love story when it is never once a happy ending? Tidak dengan mantan kekasihnya, tidak dengan papa.
Lagipula siapa yang akan menerima perempuan seperti aku. Dengan kisah yang menyedihkan. Orangtua yang bercerai, papa yang meninggal dengan cara yang menyakitkan, adik – adik yang menjadi tanggunganku, mama yang sikapnya sangat kekanakan dan egois, suami mama yang menyebalkan setengah mati dan wanita yang biasa – biasa saja. Tidak memiliki karir, tidak memiliki harta, jabatan ataupun dukungan. Aku tidak ingin memberikan beban kepada orang yang aku sukai.
I don't want to be a fool for love. Tapi rasanya aku mengebu – ngebu menginginkan lelaki itu yang ada di pikiranku saat ini. Aku tidak ingin ia menanggung beban yang kumiliki. Semua yang terjadi di keluargaku, dan tanggung jawab yang kumiliki cukup menjadi milikku.
Mungkin, ini saatnya. Aku melirik kearah jendela pesawat dan melihat pulau – pulau kecil yang biru dari atas ini. Keindahan Kepulauan Riau ini yang tidak bisa kunikmati dengan tulus. Karena pikiranku berkelana kesana dan kemari.
Dan ketika aku sampai di rumah yang tidak bisa kukenali karena semua kenangan yang kumiliki di masa kecil berubah menjadi ruangan asing, kalimat yang mama ucapkan padaku adalah, "Berhenti menyiksa diri kamu sendiri" katanya. Menyalahkanku sekali lagi.
"Mama tidak pernah memaksa kamu untuk mengambil keputusan yang kamu ambil dulu. Tidak mengambil beasiswa itu, tidak mengambil pekerjaan yang kamu inginkan. Mama gak paham dengan dunia kamu, Hanum. You can do whatever you want," ucapnya padaku ketika aku bilang akan mengejar karirku kembali, mengambil beasiswa S2 dan berhenti mensupport kedua adikku.
Aku mengepalkan tanganku keras, menahan diri atas amarah yang selama ini aku simpan. Bagaimana bisa seorang ibu memberikan semua beban kepadaku, tapi tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. She always said, "Mama tidak pernah memaksa kamu" and I ended up taking care of the company and support the family. Meanwhile she using all the money however she wants. Lalu setelah menemukan suami barunya, aku didepak dari perusahaan. Dipaksa "mengejar cita – cita" dan memulai karirku di Jakarta dengan apa yang tersisa dari diriku.
"Mama senang kamu support kita selama ini. Tapi udah saatnya kamu melakukan apa yang kamu inginkan,"
"Aku akan fokus dengan apa yang aku inginkan. Kalau mama ingin kunjungi aku, silahkan. Tapi aku tidak akan kembali kesini,"
"Kamu bisa pulang kapanpun,"
"Dan aku juga akan belajar mati – matian. Mungkin mengejar beasiswa di luar negeri. Aku tidak akan bisa menanggung Harin dan Hara. Aku akan suruh mereka untuk mengurus kantor dan menghidupi diri mereka sendiri."
"Mereka udah besar, bukan anak kecil lagi, Hanum."
"Rumah kita yang di Batu Aji berikan kita Harin dan Hara untuk mereka tinggali nantinya. Aku tahu mereka senang – senang saja tinggal disini, tapi kapanpun mereka ingin pindah, berikan rumah itu, Ma."
"Okay,"
"Aku gak akan bisa mengurusi hal – hal kecil di kantor lagi. Mama gak bisa nelpon aku untuk apapun yang terjadi di kantor. Aku gak akan menganggu apapun disana. Itu peninggalan papa, aku harap mama gak akan menganggu itu di masa depan."
"Harin, papa sudah fokus dengan politiknya. Dia tidak akan membantu mama lagi untuk urusan kantor,"
"He is not my dad." Tangkasku tajam.
"Dan aku akan mengejar karir di dunia politik nantinya. Aku akan melakukan apapun yang aku ingin lakukan,"
"Do it."
Aku menatap pandangan mama yang tenang dengan ucapanku yang emosi. Aku sangat benci ketika tidak bisa menahan diri seperti ini. Rasanya seperti kalah, seperti ketika aku menangis di hadapannya tapi dia menyalahkanku.
"I am going to do whatever I want."
"Silahkan, mama tidak pernah menghalangi kamu, bukan?"
"Aku akan hidup seperti orang normal lainnya."
"Memangnya kamu gak normal?" tanya mama lagi dengan nada tenang yang sialnya membuatku kesal.
"Berhenti menyuruhku pulang kesini. Aku gak mau ketemu dia, anak – anaknya, keluarganya atau siapapun yang berhubungan dengan dia. Aku bukan badut yang perlu dikenalkan di keluarga baru mama."
"Okay, tapi kamu harus datang kapanpun kamu ada waktu seperti saat ini."
"Okay," jawabku pelan.
"Kamu lagi dekat dengan seseorang, kan?"
Detik jam yang berputar terdengar di kepalaku menghitung waktu. Kembali lagi, mama tahu semuanya tentang aku. Hanya karena dia tidak memberikan komentarnya, bukan berarti dia tidak tahu. Hal yang sangat kubenci darinya.
"Iya,"
"Mama harap dia adalah orang baik. Lakukan apa yang kamu ingin lakukan dan jangan melihat kebelakang. Mama yakin kamu akan ketemu pasangan yang baik hati, tampan, cerdas, kaya dan bisa membuat kamu bahagia gak seperti mama."
Kalimat itu lagi. Kalimat yang selalu ia katakan setelah membuat hidupku sulit. Doa yang tidak bisa kumengerti. Lalu kenapa ia memilih untuk menjalani hidup yang seperti ini? Mataku berkaca – kaca lalu aku menunduk menghela napas panjang. Aku tidak ingin ada sesi sedih – sedihan hari ini.
"Tidurlah disini. Di kamar Harin aja. Papa kamu gak akan ada disini sampai senin. Kamu gak perlu ke rumah Batu Aji."
Aku mengangguk. Dan hari ini aku melepas tanggung jawabku sebagai kakak yang baik bagi Harin dan Hara. Aku menyelesaikan janjiku kepada papa dulu, bahwa aku akan membuat mereka bahagia. Mulai hari ini, aku akan meyakinkan mereka untuk mencari kebahagiaan mereka sendiri. Something that I already learned from long ago, that in order to be happy, you need to find your own happiness. And it is not in someone's else.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Front and Behind [discontinue]
General FictionAdiratna Hanum Kemala, seorang jurnalis yang memendam cita - citanya dalam dunia politik bertemu dengan Abyasa Bagaskoro, seorang staff menteri luar negeri muda yang memiliki kemampuan tinggi di bidang politik. Sebuah pertemuan yang kebetulan mempe...