Posesif (1)

140 14 5
                                    

Di suatu bulan, 2010

"Jadi pacar gue yuk,"

Gadis itu menatap seorang laki-laki dihadapannya dengan tatapan sinis dan sulit dipercaya. Apa barusan dia nembak?

Aleandra Anjaniㅡbegitulah nama gadis itu tertulis di name tag berwarna biru muda. Dengan seragam hitam putih, sepatu putih yang sudah kucel, serta rambut terikat yang kini sudah berantakan di hari terakhir ospek. Anjani menatap laki-laki dihadapannya tanpa membuka suara.

Apa dia bercanda? Anjani bahkan nggak kenal sama cowok ini. Sebenarnya dia tau namanya. Cuma sekedar tau saja, karena dia ini satu sekolah dengan Anjani ㅡwalaupun beda kelas, yang kebetulan juga satu fakultas dengannya dan menjalani ospek bersama.

"Nggak usah bercanda. Nggak lucu," akhirnya Anjani membuka suara. Tatapan matanya yang semula memang tajam, kini bertambah sinis. Anjani tidak suka cowok sembarangan seperti dia.

"Emang gue kelihatan bercanda ya?" Cowok itu menyunggingkan senyum. Matanya yang besar pun ikut tersenyum.

Anjani menghela nafas, "Kita tuh nggak pernah ngobrol sebelumnya. Dan lo sekarang tiba-tiba nembak gue?"

"Ini kan lagi ngobrol, Nja"

Anjani menggigit bibirnya, dia tidak pernah tau kalau seorang Prawira Atmajaya Siregar ini adalah orang yang begitu menyebalkan. Seperti yang sudah dikatakan diatas, Anjani hanya 'tau' namanya. Well, mungkin Anjani juga tau kalau Wira adalah seorang keyboardist karena dulu pernah tampil di pensi sekolah ㅡyang kebetulan saat itu Anjani adalah salah satu anggota penyelenggara pensi.

Menurut desas-desus yang sering didengar Anjani dulu, Wira ini adalah salah satu cowok populer, dalam artian karena dia ini ganteng, pintar dan mudah bergaul. Dulu, banyak cewek-cewek sekolahan yang suka dengannya. Dan tidak jarang juga mereka mengutarakan perasaannya. Mungkin separuh sekolah bisa dikatakan pasti menyukai seorang Prawira.

Bagaimana dengan Anjani? Tidak. Dia sama sekali tidak tertarik dengan cowok-cowok ganteng disekolah. Lebih tepatnya, tidak peduli. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.

Tidak jauh beda ketika sekolah dulu, eksistensi seorang Prawira juga dibuktikan selama tiga hari ini. Baru saja menjalani ospek mahasiswa baru, Wira sudah sering di cengcengin dengan cewek-cewek. Baik itu sesama maba atau bahkan kakak senior yang menjadi panitia ospek.

"Gue nggak suka jadi pusat perhatian," ujar Anjani melipat tangannya di dada. Di halaman depan sekolah, sudah pukul enam sore. Anjani yang tengah menunggu jemputan tiba-tiba saja kedatangan sosok yang aneh yang tiba-tiba menyatakan perasaannya.

"Emangnya kalo pacaran sama gue lo bakal jadi artis apa gimana?"

"Lo pura-pura nggak tau ya? Lo itu populer dikampus. Menurut lo, kalo gue terima lo gitu gue nggak di cari tau sama semua orang?" tukas Anjani masih dengan nada kesal.

"Hm," Wira tersenyum lagi. Dia menyandarkan punggungnya ditembok lalu menatap Anjani, "Tapi, gue nggak ngerasa populer tuh"

"Terserah lo deh. Lagian aneh banget. Nggak pernah ngajak ngomong, tiba-tiba nembak. Serem tau nggak,"

Wira tertawa kecil, "Kita pernah ngobrol kok sebelumnya. Yaㅡmungkin lo nggak bakal ngingat pembicaraan nggak penting kita. Tapi, gue masih ingat dengan jelas"

Anjani menyerngitkan dahinya, "Kapan?"

"Pas lo latihan paduan suara buat tujuh belas agustusan pas kelas sebelas. Temen lo ada yang pingsan. Dan lo minta bantuan gue selaku anak PMR." Wira tersenyum lagi, "Eh ini tolongin temen gue. Dia nggak makan dari pagi kayaknya. Tolong ya," ucap Wira sambil menirukan dialog Anjani dua tahun lalu.

Sepenggal Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang