Double Beef

69 10 2
                                    

Belive and belief

I don't know where i'm going, but i'm on my way.

Abella Milozee

Menikmati turunnya matahari untuk diganti dengan bulan dan bintang adalah kesukaan gue setiap harinya. Apa lagi sekarang hari Sabtu yang artinya gue udah berhasil melewati satu minggu yang penuh dengan cekaman guru-guru pengawas.

Gue bebas dari ujian!

Tapi gue gak bebas dari perkataan yang gak sengaja gue dengar dari salah satu teman sekolah gue kemarin. Tepatnya saat dia menanggapi temannya yang lagi curhat.

"Denger ya. Sesuatu yang keluar dari mulut, itu yang diinginkan oleh hati."

Gue agak gak ngerti maksud dari omongannya apa, tapi gak lama dari dia ngomong itu, dia jelasin lagi apa maksud dari kalimat dia barusan.

"Bukan suatu kebetulan kalo dia bersikap kasar ke elu. Apa yang hati dia pengen, ya itu yang dia lakuin. Kalo dia kasar ya berarti emang dari hatinya pengen kayak gitu juga."

Dan lo tau apa yang gue lakuin waktu gue denger itu semua? Gue mikir kalo apa yang dia bilang itu persis banget sama apa yang gue rasain ke Jastin.

Gue sadar. Ternyata percuma gue berusaha bertahan dengan omongan Gio yang hampir setiap hari bilang; "dia emang gitu bel. Tapi hatinya baik kok."

Pasalnya mungkin dia emang baik ke Gio, tapi gak ke gue. Omongan-omongan yang keluar dari lidahnya 90% kasar. Yah bisa dipastiin kalo dia emang gak suka sama gue sih.

"Dih apaan sih kok bengong? WOI!"
"ISH KAGET!"

Gue gak tau kalo ada ko Kiel disini. Kapan dateng si elah? Ganggu aja deh.

"Udah ayo ah dari pada galau. Kita jajan aja, koko yang bayar apa aja yang kamu mau deh," ucap ko Kiel sambil naik turunin dua alisnya. Kalo yang kayak gini sih gak boleh di tolak!

"SERIUS?"
"hm."
"AYO!!"

Kali ini gue yang semangat. Tarik tangan ko Kiel sambil lari-lari biar dia jalannya cepet. Dari pada supermarket-nya keburu tutup, mending cepet-cepet kan.

"Ya kali jam segini supermarket udah tutup. Masih jam tujuh. Dasar bocah!"
"Dih? Siapa tau karyawannya ada yang hajatan, jadi buru-buru tutup. Udah ah ayo buruan!"

Papa sama mama yang ngeliatin gue sama ko Kiel cuma bisa senyum sambil geleng-geleng heran.

Maafin kelakuan anak-anak mu ini pah mah.

"Pa, ma. Aku sama Abel keluar sebentar ya. Mau jajan," ujar ko Kiel setengah teriak dan di lanjuti dengan anggukan papa sama mama.

Selama di jalan gue memilih untuk hanya menatap benda pipih berukuran tak terlalu besar yang selalu gue bawa di kantong celana gue. Sesekali dua ibu jari gue menari di atasnya. Mengetik beberapa kata yang kemudian gue hapus lagi.

Suasana jalan yang renggang, dan juga hati yang sedang bergulat abis-abisan dengan si otak, mendukung diri ini untuk diam sejenak sambil menikmati campuran dari kedua suasana ini.

Gak ada omongan apapun yang keluar dari bibir ko Kiel yang biasanya akan menghujani gue dengan beribu-ribu pertanyaan karena gue diem di mobil. Gak kayak biasanya. Album One Direction nyala, mulut gue juga nyala. Tapi sekarang album idola gue pun sama sekali gak ada pengaruhnya buat gue. Gue juga yakin kenapa ko Kiel lebih pilih fokus sama jalanan dari pada sama gue. Ya karena dia tau gue. Kalo kayak gini, dia pasti lebih pilih buat beliin gue es krim sambil liatin gue makan layaknya bocah tiga tahun, sampai akhirnya nanti gue bakal cerita dengan sendirinya.

TESTIMONYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang