Only one Tea

83 12 8
                                    

Terrible.

One life is all we have and we live it we belive in living it. But to sacrifice what you are and what to live without belief, that is a fate more terrible than dying.

Abella Milozee

Dulu waktu gue masih umur 3 tahun, gue inget banget, gue paling takut sama hal-hal yang bersuara keras.

Waktu gue umur 6 tahun, untuk pertama kalinya gue paling takut sama guru yang bawa-bawa mistar yang panjangnya hampir dua meter.

Waktu gue 12 tahun, gue paling takut dengan tidak diterimanya gue di tengah teman-teman gue.

Waktu gue 15 tahun, gue paling takut sama yang namanya hujan. Apa lagi kalo udah ada badai sama petirnya. Itu paket komplit banget sih.

Bahkan rata-rata teman-teman gue pada umur 15 tahun benar-benar mega-takut sama yang namanya emak ngomel-ngomel kayak contoh teman gue yang namanya Adella.

"Bel, kok lu takut ujan si?" Nada bicara Adel agak ditekan dikala itu.

"Serem gila." Gue inget, gue bilang itu sambil tutup kuping gara-gara kilat yang tiba-tiba hadir di jendela kelas.

"GAK BOLEH TUTUP KUPING PAMALI!"
"SIAPA PEDULI BODOAMAT!" Untungnya di waktu itu gak ada guru, jadi gue bebas teriak-teriak kalo ada kilat atau guntur datang.

"Gue sih paling takut kalo emak gue udah ngomel," ucap Adel tiba-tiba yang buat gue langsung lupa sama situasi yang lagi hujan badai.

"Lagian emak gue kalo udah ngomel, panci sama penggorengan dia banting-banting. Kan horror, apa lagi kalo di rumah cuma ada gue sama emak gue. Udahlah istigfar aja gue dalem hati."

Pasalnya Ibu itu kayak jantungnya rumah. Kalo gak ada ya gak hidup. Kalo marah ya, rumahnya kebakar. Abis-lenyap-jadi debu.

Oke tentang Adel cukup.

Dan hari ini di saat umur gue 18 tahun. Gue merasakan ketakutan yang baru.

Ketakutan yang baru saja terasa di lubuk hati ketika fajar mengintip di balik jendela beberapa waktu lalu.

Ketakutan yang terus menetap di salah satu sudut ruang hati.

Ketakutan yang hadir setelah gue bisa melihat dua manik mata teduh yang singgah ke rumah gue di kala subuh.

Dua mata yang disertai bulu mata yang cukup lentik yang tak pernah membuat gue bosan untuk memandanginya dalam kurun waktu yang cukup lama.

Ketakutan itu..

Ketakutan akan kenyataan yang mengatakan kalau-kalau kejadian kemarin hanya kebetulan.

Ketakutan akan kenyataan yang mengatakan kalau-kalau ia hanya singgah dan tidak menetap.

Ketakutan akan kenyataan yang mengatakan kalau-kalau ia akan menghilang dari pandangan tanpa aba-aba.

Iya gue takut sekarang.

Gue takut kalau kejadian kemarin hanya kejadian biasa yang mudah saja dia lupakan.

Mungkin saja dia hanya menganggap gue sebagai pelampiasan rindunya terhadap yang lain. Cuma Tuhan yang tau seluk-beluk hatinya.

Semua kumungkinan itu bisa saja terjadi. Mungkin besok, atau lusa, atau mungkin nanti satu menit kemudian.

Gue gak pernah segelisah ini sama ketakutan. Sebisa mungkin gue harus menang dari hal itu. Gue gak boleh kalah sama iblis yang lagi main-main sama pikiran gue supaya gue gak melangkah ke depan.

TESTIMONYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang