"Itu motor di depan, lo dapet dari mana, Bang? Lo nggak nyuri, 'kan?"
Dirga yang baru saja menyeduh kopi memutar bola mata. Dia menatap Aloy sekilas sebelum melengos dan pergi dari dapur.
Dirga menghempaskan pantat ke atas sofa kulit sintetis. "Emang muka gue kriminal banget?"
Bahu Aloy mengendik. "Zaman sekarang muka nggak mencerminkan jati diri."
Alis Dirga meninggi. "Kayak lo. Muka gembel, ternyata kaya tujuh turunan-delapan tanjakan."
Aloy langsung bungkam. Dirga menarik senyum miring karena melihat Aloy memasang tampang keruh. Dia tahu jika asal-usul Aloy selalu bisa menghentikan ocehan pemuda adonis itu. Sebab keberadaan Aloy di kontrakan itu tak lain adalah untuk melarikan diri dari asalnya. Jadi tentu saja Aloy tidak akan berkutik begitu disindir mengenai keluarganya yang tajir melintir.
Dirga menyeruput kopi di cangkirnya. Merasakan cairan pahit itu turun melewati kerongkongan menuju lambung.
Ah, indahnya Minggu pagi dengan secangkir kopi, suasana tenang, dan dengusan Aloy yang sedang kesal.
"Dir, itu motor lo boleh dapet taruhan?" tanya Raka yang baru memasuki ruang tengah dengan tampang kuyunya.
"Bukan. Hadiah dari Sanjaya," ujar Dirga santai. Ia mengamati penampilan Raka dengan cermat. "Lo habis mabuk, ya?"
Raka mengangguk. "Pengar banget. Gue mau tidur lagi. Ntar bangunin gue kalo makan siang!"
"Oke," jawab Dirga sambil mengacungkan tanda OK menggunakan tangan kirinya.
Lantas Dirga menoleh pada Aloy yang menantinya untuk menjelaskan. Namun Dirga hanya balas menatap datar pada Aloy. Membiarkan Aloy dan sifat mudah merengeknya kambuh. Karena walaupun hari Minggu menyenangkan jika sedang tenang, melihat Aloy merajuk seratus kali lebih asyik.
"Lo adu tonjok sama bodyguard-nya Om Sanjaya? Cari mati?" tuduh Aloy serius.
"Gue nggak lecet sama sekali," Dirga merentangkan tangan. Menunjukkan badannya yang tanpa luka sedikitpun setelah bergulat dengan ajudan andalan Sanjaya.
Yah, mana mungkin Dirga kalah dari cecunguk-cecunguk Sanjaya? Dia orang yang paling sering mempermalukan para pria berotot besar itu di dojo. Jadi tidak heran jika mereka tidak bisa menyentuh seujung kuku pun tubuh Dirga, walaupun di ring pertandingan. Lagipula Dirga juga tidak akan mungkin mau kalah kalau taruhannya motor sekelas Harley Davidson. Walaupun harus melawan pegulat profesional sekalipun.
Yang mengherankan adalah Sanjaya. Orang itu jelas tahu jika ajudannya bukan tandingan Dirga. Lalu kenapa pula masih bertaruh motor mahalnya?
Ah, dasar orang kaya. Bertaruh motor menjadi terlihat sesepele menebar garam di teras rumah.
Dirga memberikan kunci salah satu motornya pada Aloy. "Bawa jalan motor gue! Kasian nganggur di garasi mulu."
"Pamer," Aloy menggerutu. Meski begitu, dia mengambil jaket dan kunci motor Dirga.
"Mau nitip apaan?"
Dirga mengendik. "Terserah lo."
Aloy memutar bola mata. Pemuda berkulit sawo matang itu segera menuju garasi. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motor yang meninggalkan garasi.
Dirga menyeruput kopinya dengan santai. Melalui ekor matanya, dia melirik pada kunci motor dan mobil yang tergantung di dinding. Dia mendengus sebelum menyalakan televisi plasma di depannya.
***
Biasanya Dirga tidak pergi dari kontrakan di hari Minggu. Kecuali jika dia ada tawaran pekerjaan dari Zel atau Raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga & Jana
RomanceDirga sadar, dia bukan definisi lelaki baik untuk Jana. Dia rusak di banyak sisi. Sedangkan Jana, gadis itu adalah Dewi Semesta. Poros dunia Dirga, setitik kewarasan Dirga, dan... tujuan Dirga. . "I'll bleed for you, but I won't die for you. I will...