Semalam nyata. Bukan mimpi liar Jana. Gadis itu menggigit bibir. Antara sedih dan lega.
Sedih karena jika itu nyata, dia berharap masih melihat wajah Dirga di kamarnya saat bangun tadi. Tapi nyatanya Jana bangun dalam keadaan tidak senonoh, sendirian. Dirga pasti sudah diam-diam keluar melalui jendela kamar Jana--akses satu-satunya untuk keluar masuk kamar Jana tanpa tertangkap basah Sanjaya.
Tapi Jana lebih lega. Karena jika Dirga masih di kamarnya, bukan tidak mungkin Sanjaya akan memergoki keduanya berada di ranjang yang sama. Dan Jana yakin itu akan jadi terakhir kalinya Jana melihat wajah Dirgantara.
Tok, tok, tok!
"Ya?" sahut Jana.
"Kamu sudah bangun?" tanya Laila, pengasuh Jana sejak bayi.
Jana memoles bibirnya dengan lipgloss. "Sudah," jawab Jana. Ia berjalan ke arah pintu, membukanya. "Papa udah sarapan?"
Laila sedikit kaget melihat Jana sudah berdandan. Wanita itu melihat jam tangannya. Hari Sabtu. Jana tidak ada kuliah, tapi tidak biasanya gadis ini bangun cepat di hari libur.
"Tuan di ruang makan."
"Aku mau sarapan," kata Jana riang.
Laila hendak mencegah, namun Jana sudah lebih dulu berjalan menuruni anak tangga dan masuk ke ruang makan. Laila mengikuti Jana hingga akhirnya Jana mematung di pintu ruang makan.
"Dirga?"
Pemilik nama yang Jana sebut menoleh. Kemudian tersenyum manis tanpa dosa. Jana menoleh pada Sanjaya yang duduk dengan muka keruh, menyeruput kopi. Lagi-lagi Jana menatap Dirga yang duduk di kursi makan. Dengan tenang menikmati french toast yang pasti adalah buatan Laila.
"Morning, Cherry," kata Dirga.
Sanjaya berdehem. "Jangan ngelunjak!"
Dirga tidak mendengarkan. "Sarapan?" tanya lelaki itu pada Jana dengan penuh perhatian.
"Kamu ngapain di sini?" desis Jana horor. Dirga mengedipkan mata, jahil. "Dirga?"
"Papa ada urusan sama dia," Sanjaya berujar menjawab pertanyaan anak gadisnya. Jana masih menatap Dirga dengan tajam. Melihat itu, Sanjaya berdehem lagi. "Duduk di sini, Sayang!"
Renjana menuruti Sanjaya. Gadis dengan summer dress tanpa lengan itu duduk di sisi kanan Sanjaya. Tatapan mata Jana masih terarah pada Dirga di ujung lain meja makan panjang itu. Jana menerka-nerka apa yang dilakukan Dirga hingga bisa duduk di ruang makan rumahnya tanpa terkena bogem ayahnya.
Itu tidak terlalu penting.
Yang lebih penting adalah: apakah Sanjaya tahu jika semalam Dirga tidur di kamar Jana?
"Kamu mau sarapan sereal atau roti?" tanya Laila yang sedari tadi di belakang Jana. Membuat Jana sedikit tersentak dari lamunan.
"Sereal," Jana mencicit. Dia menatap Dirga lagi. "Kamu udah lama?"
Dirga tersenyum penuh arti. "Belum."
"Pagi-pagi dia sudah ada di teras depan. Seperti pengemis. Apalagi pakaian kumuhnya itu bikin dia makin mirip gembel," cerca Sanjaya dengan nada menghina. "Papa kamu ini ingin beramal, jadi dia kubiarkan sarapan sekali ini."
"Lah, lo ngajakin gue ketemuan, Pak Tua," bantah Dirga.
Mencibir, Sanjaya membalas sengit, "Gue ngajakin ketemu di dojo. Jam dua siang. Ini di rumah gue dan masih jam tujuh pagi."
"Nanti siang gue ada urusan. Jadi gue ke sini," Dirga beralasan. Matanya melirik Jana yang mencuri pandang sembari mengaduk serealnya. "Lagian seseorang kangen sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga & Jana
RomanceDirga sadar, dia bukan definisi lelaki baik untuk Jana. Dia rusak di banyak sisi. Sedangkan Jana, gadis itu adalah Dewi Semesta. Poros dunia Dirga, setitik kewarasan Dirga, dan... tujuan Dirga. . "I'll bleed for you, but I won't die for you. I will...