Memulai hari dengan terbanting dari atas tempat tidur adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan bagi Dirga. Apalagi begitu melihat orang yang sudah menariknya dari kasur sedang bertolak pinggang angkuh.
"Agghh! Ngapain, sih, lo ke sini?" teriak Dirga jengkel.
Orang itu, yang tak lain adalah Sanjaya, menendang betis Dirga dengan ujung pantofel kulitnya. Dirga meraung kesakitan seraya terduduk di lantai. Dia menatap sengit pada Sanjaya yang sudah berniat mencekiknya sekarang juga.
"Menurut lo, gue akan diam aja setelah lo cium-cium anak gue, hah?" balas Sanjaya geram. "Gue matiin juga lo, Begundal Jalanan."
Beberapa tendangan kembali Sanjaya layangkan ke tubuh Dirga. Namun secepat mungkin, Dirga bangkit dan berkelit sebelum pukulan dan tendangan Sanjaya mencapai hitungan ke sepuluh. Lelaki bersurai legam itu memanjat kasurnya lalu melompat ke sisi lain kamar. Sehingga ada jarak satu tempat tidur antara dia dan Sanjaya.
"Ke sini lo, brengsek!"
"Supaya bisa lo pukul? Cih, ogah lah!" Dirga melempar gulingnya ke arah Sanjaya. "Lo tuh melanggar etika bertamu. Ini masih jam enam pagi. Gimana ceritanya lo bisa masuk rumah orang tanpa permisi?"
Sanjaya yang baru saja berkelit dari lemparan Dirga mendengus keras. "Lo bahas etika setelah cium anak gadis orang di depan bapaknya? Omong kosong! Lo memang harus gue hajar sampai mampus."
Batin Dirga sempat membenarkan perkataan Sanjaya. Dia bahkan lima kali lebih kurang ajar dari sekedar membangunkan orang dengan kekerasan. Tapi, masa bodoh. Stok sopan dan beretikanya tidak dipergunakan kepada Sanjaya.
Dirga tidak ingat jelas pertemuan pertamanya dengan Sanjaya. Tapi rasanya dia sudah seumur hidup mengenal Sanjaya. Dan belum ada satu saja memori di otaknya yang menunjukkan jika Dirga pernah memanggil Sanjaya dengan sopan. Mereka saling menggunakan lo-gue setiap kali berbicara. Dirga juga tidak segan balas memukul Sanjaya jika terdesak. Persetan mengenai umur mereka yang terpaut belasan tahun. Dirga tidak peduli.
"Renjana nggak keberatan gue cium. Kenapa lo sewot banget, sih?" Dirga menggaruk pahanya. Kemudian dia sadar jika semalam dia hanya menggunakan bokser saat beranjak tidur.
Ah, keadaan menggelikan apa ini? Setengah telanjang di depan pria psychopath yang sedang mengamuk.
"Nggak keberatan--gundulmu?" mata Sanjaya melotot sempurna. Dia melempar weker di atas nakas kepada Dirga hingga pemuda itu mengerang memegangi rusuknya yang terhantam keras. "Lo bisa gue laporin karena udah melecehkan Renjana. Dan karena perilaku pedofilia lo itu."
Dirga memutar mata. "C'mon! Anak lo itu udah tujuh belas tahun. Dan gue baru dua puluh dua, kalo lo hilang akal. Pedofilia dari Hongkong?"
"The fuck with that. Gue tetap akan bunuh lo kalau lo masih coba sentuh Renjana."
"Bacot. Lo nggak akan bisa bunuh gue, nyentuh rambut gue pun nggak akan," ejek Dirga.
Berang mendengar kalimat konfrontasi dari Dirga, Sanjaya tanpa pikir panjang menyerbu ke arah Dirga. Tangannya sudah terkepal siap menghajar mulut lancang Dirga.
Namun, satu hal yang selalu Sanjaya sangkal. Bahwa Dirga memang lebih handal bela diri ketimbang dirinya. Sehingga tidak sulit untuk Dirga menangkis serangan mentah Sanjaya. Justru kini Dirga berhasil memelintir kedua tangan Sanjaya di belakang tubuh. Dirga mendorong tubuh berotot Sanjaya hingga terjerembab di atas kasurnya.
"Nah, see?" Dirga mengolok. Kedua lututnya menekan kaki Sanjaya agar tidak bisa berontak. "Ngomong doang lo gede. Mukul juga nggak becus."
"Brengsek!" maki Sanjaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga & Jana
RomanceDirga sadar, dia bukan definisi lelaki baik untuk Jana. Dia rusak di banyak sisi. Sedangkan Jana, gadis itu adalah Dewi Semesta. Poros dunia Dirga, setitik kewarasan Dirga, dan... tujuan Dirga. . "I'll bleed for you, but I won't die for you. I will...