Dirga sudah tidak mengeluhkan nyeri di wajahnya setelah beberapa hari kemudian. Lebamnya juga sudah hilang tanpa bekas.
Dirga sudah pandai bertarung sejak usia yang harusnya belum pantas ikut pertandingan jalanan. Selama satu tahun awal menjadi petarung amatir, Dirga sering mendapat memar di wajah dan perutnya. Dulu dia selalu lemah bertahan di bagian itu. Jadi, mendapat pukulan ringan dari Sanjaya jelas bukan masalah besar saat ini.
Pagi-pagi sekali pemuda itu sudah berkendara di atas motor sport Kawasaki miliknya. Dia rela bangun lebih pagi untuk menjemput Jana ke rumah gadis itu untuk berangkat kuliah bersama.
Namun ternyata Sanjaya sudah menghadangnya di depan pagar rumahnya yang tinggi itu. Persetan, Dirga tidak peduli
Dia dengan berani menghentikan motornya di depan Sanjaya dan melepas helm yang dipakainya. Pemuda jangkung itu menatap remeh Sanjaya tanpa berniat turun dari motor untuk sopan santun.
"Nggak ada kapoknya ya, lo," Sanjaya menggerutu.
Dirga tersenyum miring. "Belajar dari ahlinya," sindir pemuda itu pada Sanjaya yang langsung berwajah murka.
"Enyah dari rumah gue, Berandal!" usir Sanjaya kehilangan sabar.
Dirga tertawa mengejek pria itu. "Stok makian lo awalannya sama semua. Bangsat, berandal, begundal, bajingan. Nggak kreatif."
Sanjaya akhirnya benar-benar kehilangan kesabaran meladeni tingkah kurang ajar pemuda hormonal di hadapannya. Ia melepas sendal yang dipakainya dan melemparkannya pada Dirga. Pemuda itu berkelit dari lemparan pertama.
Dirga menghela napas dalam-dalam. "Bidik yang tepat, dong! Apa mata lo udah rabun, Pak Tua?"
"Kurang ajar!" Sanjaya melemparkan sendalnya lagi, dan mengenai motor Dirga.
Tawa Dirga berderai melihat muka Sanjaya merah padam. "Nah, gitu, dong! Ngumpat juga perlu perbaharuan."
"Fuck you!" Sanjaya menggeram kesal, kemudian bertolak masuk ke rumahnya karena malu dan kesal.
Tak lama setelah Dirga mendengar Sanjaya membanting pintu depan rumahnya, pagar kembali dibuka. Kepala Jana menyembul dari celah yang dibuatnya. Gadis itu melambaikan tangan dengan riang.
"Dirga?" sapa Jana.
"Ready to go," Dirga melirik jam di tangan kanannya. "Kamu ada kuliah umum perdana jam sembilan, kan?"
Jana melirik kiri-kanan dengan kikuk sebelum membuka pagar rumahnya lebih lebar. Tubuh kecilnya berbalut rok midi warna plum dan kemeja putih gading. Pas untuk dikagumi Dirga seharian.
"Iya," Jana tersenyum mencurigakan, Dirga sudah mulai memicingkan mata. "Tapi aku bawa mobil sendiri."
Dirga menelengkan kepalanya ke samping, menilai raut wajah salah tingkah Jana saat mengatakan akan bawa mobil sendiri. Lelaki itu mengerutkan kening sebagai hasil analisis singkatnya. Dan dia mendengus sambil mengalihkan pandangan ke aspal jalanan.
Ini pasti ada hubungannya dengan Sanjaya yang sudah menghadang Dirga di depan rumahnya tadi.
Saat Dirga mendongak ke teras rumah Sanjaya, lelaki itu sudah kembali keluar dengan secangkir kopi panas. Sanjaya memberi salute pada Dirga sebagai ejekan balasan.
Now he figured it out.
"Lain kali nggak usah bilang ke bapakmu itu kalau aku mau jemput!" ujar Dirga kesal.
"Dirga.." Jana mengeluh serba salah. Mata hijau gadis blasteran itu menatap Dirga dengan menyesal.
Sementara Dirga mengumpat dalam hati. Sial, wajah Jana bisa secantik itu saat galau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga & Jana
RomanceDirga sadar, dia bukan definisi lelaki baik untuk Jana. Dia rusak di banyak sisi. Sedangkan Jana, gadis itu adalah Dewi Semesta. Poros dunia Dirga, setitik kewarasan Dirga, dan... tujuan Dirga. . "I'll bleed for you, but I won't die for you. I will...