|1| Him

10 0 0
                                    

Suara kasak-kusuk di koridor lantai dua itu terdengar rendah. Berbaur jadi satu dengan suara knalpot kendaraan bermotor yang keluar atau masuk parkiran di bawah sana. Riuh rendah khas bising gerombolan mahasiswa yang sibuk dengan perencanaan studi di awal semester.

Sementara gerombolan di koridor sedang berbagi cerita tentang liburan mereka atau menggosipkan Ospek yang baru selesai dua minggu yang lalu, seseorang sedang memyumpal telinga dengan headset yang tidak mengeluarkan suara apa pun. Hanya berkamuflase agar terlihat sibuk sendiri. Walaupun nyatanya dia hanya sedang menghindari mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya.

Tubuh jangkung itu bersandar pada pembatas balkon. Jauh dari kelompok mahasiswi yang sesekali mencuri pandang padanya. Karena memang tak bisa dipungkiri jika sosok berbalut jeans biru pudar dan flanel hijau tua itu begitu menarik perhatian. Selain karena wajahnya, jelas juga karena namanya yang sering disebut di fakultas mereka.

Mata tajamnya berfokus pada ponsel yang sejak tadi digulir oleh ibu jarinya. Dia membaca beberapa artikel buatan mahasiswa yang diunggah oleh pres fakultas. Alisnya sesekali naik kala menemukan sesuatu yang menarik.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Hingga sebuah tepukan mendarat di bahunya. Dia menegakkan tubuh seraya melepas headset dari telinganya.

"Nunggu lama, Dir?"

Dirga menggeleng. "Cuma satu jam."

Dirga mendapat toyoran dari laki-laki yang kini berjalan bersamanya membelah keramaian koridor. Tanpa mengambil pusing orang-orang di sekitar, mereka berjalan menuju pujasera.

"Lo nyindir, ya?" gerutu Raga.

Dirga tersenyum mengejek. "Ya bagus kalau lo kesindir."

Lelaki di sebelah Dirga itu memonyongkan bibir mendengar nada datar Dirga. Walaupun sudah sering mendengar sarkasme Dirga, tetap saja menjengkelkan jika harus mendengarnya lagi.

Raga lalu mengeluarkan amplop cokelat dari tas selempangnya. Ia memukulkan amplop tebal itu ke dada Dirga dengan keras.

"Langsung dibayar full, Man," kata Raga antusias.

Dirga mengintip isi amplopnya sambil berjalan. "Yang dua ratus udah lo ambil."

"Yaelah, 'kan buat bayar bengkel," Raga mendengus.

Bahu Dirga mengendik singkat menanggapi Raga. Ia memasukkan uang yang diterimanya tadi ke dalam tas. Sudah ada planning tersendiri untuk sejumlah uang yang diterimanya itu. Belum sampai besok, mungkin sudah tak bersisa.

Saat sampai di pujasera, mereka segera memesan soto langganan mereka dan duduk berhadapan di salah satu meja yang kosong. Dirga mengeluarkan rokok dan menyalakannya selagi menunggu pesanan.

"Ngebul mulu, lo," gerutu Raga yang sedang dalam usaha berhenti merokok. Mulutnya terasa asam sejak pagi karena lupa tidak membawa permen. Lalu sekarang Dirga seenak dengkul menghisap rokok dan menghela asapnya ke muka Raga.

"Ini kalo lo mau, ambil aja!" Dirga mendorong bungkus rokok beserta pemantiknya ke hadapan Raga.

Bibir Raga mengerucut. "Pacar gue nggak mau dicium kalo gue habis nyebat."

Tepat saat Dirga sudah menghabiskan sebatang rokok, pesanan mereka datang. Dirga tidak menambahkan apa pun ke dalam soto yang disantapnya. Berbeda dengan Raga yang sudah menuang kecap dan beberapa sendok sambal. Mereka dengan khidmat menghabiskan makan siang mereka yang sudah terlambat dua jam tanpa mengobrol.

Dirga & JanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang