Suasana siang hari yang terik, diiringi angin serta debu yang membuat tubuh meriang. Langkah kaki-kaki panjangnya menyusuri halaman rumah dengan nuansa sederhana, membuka pintu gerbang dengan tergesa untuk menemui sosok kecil di dalamnya. Telfon dari tetangganya membuatnya kalang kabut. Membuatnya skip makan siang juga meninggalkan pekerjaan yang menggunung dimeja kerjanya.
"Baby Haechan~!"
Teriak seorang dewasa bernama Johnny Seo dengan mata bergerak gusar mencari anak semata wayangnya. Memanggil buah hati yang tidak terlihat diruangan depan. Apalagi suasana rumah sepi membuat Johnny semakin takut. Takut anaknya mengalami sesuatu yang buruk.
'Ada guru baru disekolah, aku tidak kenapa Haechan menjadi pendiam sejak tadi.' Ujar tetangganya sekaligus sahabatnya, Lee Taeyong dalam sambungan telepon tadi.
Johnnya yang mendengar ucapan Taeyong mau tidak mau langsung khawatir dengan anaknya. Apa terjadi sesuatu? Apa Haechan kecilnya mengalami sesuatu yang buruk?
Johnny sangat takut itu terjadi.
Ketika Johnny membuka pintu kamar anaknya, pandangannya langsung terfokus pada anak kecil gembul yang kini mengayunkan kakinya diranjang. Haechan anaknya yang manis masih lengkap dengan seragam sekolahnya, seragam pilot dengan tas ransel berbentuk rusa dipunggungnya. Bahkan boots kecil dikakinya tidak ia lepas.
"Baby Haechan kenapa? Kenapa tidak menjawab saat Papa memanggil?" Ujar Johnny khawatir.
Johnny berjongkok dengan menumpu pada lututnya. Mata berbinar khawatir menatap anak semata wayangnya itu, Haechan tidak biasanya seperti itu. "Haechan sakit? Bilang Papa mana yang sakit?" Ujarnya dengan menangkup kedua pipi bulat itu.
Mata bulat seperti beruang itu berbinar sedih, riak airmata menggenangi kedua pelupuk matanya. Kedua pipinya memerah menahan tangis, namun ia masih bungkam. Ia tidak menjawab pertanyaan ayahnya.
"Jangan membuat Papa sedih, sayang. Haechan kenapa?"
Johnny berujar sendu, anaknya tidak pernah seperti itu. Johnny lebih suka Haechan yang marah dan mengomel daripada Haechan yang terdiam dengan riak airmata. Hatinya sebagai ayah seperti tersengat melihat anaknya seperti itu.
Haechan menggeleng pelan, ia mengambil ransel rusa dipunggungnya. Mengambil sebuah kertas kusut yang robek sedikit diujungnya, menyodorkannya pada sang ayah yang masih menatapnya khawatir. Kertas itu berisi sebuah gambaran yang lebih bisa disebut coretan dengan satu tiang tinggi dengan bulatan cukup besar dibawahnya.
"Selamat hari ibu, Papa." Ujarnya pelan.
Johnny terkesiap, dadanya serasa dihantam dengan beton. Rasa bersalah merayapi hatinya melihat anaknya seperti ini. Yang ia khawatirkan menjadi kenyataan.
"Te-terimakasih, sayang." Johnny masih berusaha menguatkan hatinya melihat Haechan yang mulai terisak pelan dengan menggengam kertas miliknya. Johnny sakit sekali melihat anaknya seperti ini.
Johnny beranjak berdiri, memeluk Haechan yang mulai menangis itu dengan erat. Membisikan kata maaf berulang kali pada anaknya. Menahan mati-matian airmatanya melihat Haechan seperti ini. Ada rasa sakit tidak berdarah melihat Haechan bergumam kalau ia adalah papa bukan ibu.
"Papa bukan ibu! Papa bukan ibu!"
Johnny tidak bisa menjawab yang ia lakukan hanya memeluk Haechan yang menangis terisak dengan tubuh yang memberontak tidak ingin dipeluk. Haechan manisnya tidak pernah seperti ini, meskipun dia anak yang nakal dia tetap penurut padanya. Hal ini membuatnya sedih.
"Maafkan Papa, sayang." Hanya kata maaf yang bisa Johnny ucap untuk Haechan.
Johnny tidak pernah memberitahu Haechan kalau sang ibu sudah tiada. Ketika berada dipemakaman ia selalu berkata, "Kita akan bertemu Mama nanti." Omong kosong yang terus ia ucapkan sehingga ketika disaat seperti Haechan terpukul dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Father
Fiksi PenggemarJohnny merasa kiamat kala melihat istrinya-Ten-terbujur dingin setelah melakukan operasi kelahiran anak mereka yang pertama. Hari kelahiran yang selalu diharapkan penuh suka cita berakhir duka atas kematian istrinya. Tapi, ketika melihat bayinya be...