III

1.3K 16 0
                                    

"Aneh nih Pak Hari. Masa baru segitu saja sudah mundur," kata Pak Budi malam itu.

Percakapan mereka masih berlanjut hingga larut malam. Pak Hari berkata bahwa ia belum pernah mengikuti proses ujian dan wawancara seperti itu sebelumnya. Sebagai orang kampung, ia ragu akan diterima di sekolah itu. Rasa percaya dirinya belum terbentuk. Lagi pula, itulah pertama kali Pak Hari merantau.

"Tapi kan diterima juga."

"Iya juga ya," sambil tertawa Pak Hari menanggapi, "itu sebelumnya saya benar-benar tidak percaya diri."

"Nah, tadi Pak Hari sudah cerita tentang murid-murid. Sekarang ceritakan bagaimana guru-gurunya?" Tanya Pak Budi.

Meskipun satu yayasan, Pak Hari dan Pak Budi tidak mengajar di lembaga yang sama. Pak Hari di lembaga SMK. Sementara Pak Budi di lembaga SMA.

"Menyenangkan. Langsung akrab. Tapi..." kalimatnya menggantung.

"Tapi apa?" Budi penasaran.

"Jangan berita tahu yang lain ya. Ini rahasia kita saja," katanya ragu-ragu. Awalnya Pak Hari tidak ingin cerita. Keceplosan.

"Oke."

"Begini, saat pertama kali mengajar saya diawasi oleh kepala sekolah di dalam kelas. Terus... setelah selesai, pas keluar kelas, saya disuruh masuk kelas lain untuk memperhatikan cara mengajar guru matematika lain. Katanya itu guru paling bagus mengajarnya. Ya, otomatis saya tersinggung. Tapi karena saya guru baru, saya menurut saja," Pak Hari menjelaskan.

"Oh ya, masa diperlakukan begitu?" Pak Budi heran.

"Iya... serius," jawab Pak Hari, "padahal harusnya setelah saya selesai mengajar, kepala sekolah baiknya mengevaluasi cara mengajar saya dulu secara empat mata. Kalau memang kurang bagus, ya, silakan saya memperhatikan cara mengajar guru lain. Tidak masalah buat saya."

"Jadi, Pak Hari tidak dievaluasi dulu?"

"Iya. Maka itu saya keberatan dan kesal. Masa saya diperlakukan begitu. Seolah-olah saya tidak mampu mengajar. Tapi saya tidak tunjukkan saat itu. Nanti malah tambah ruwet," nada suara Hari terdengar naik. Ternyata ia mengungkapkan kekesalannya terhadap kepala sekolahnya, Bu Meli.

"Betul juga ya. Kalau saya kepala sekolahnya, saya bakal evaluasi dulu. Baru kasih masukan sekiranya ada kekurangan. Bukannya langsung disuruh memperhatikan guru lain."

"Nah, itu maksud saya."

"Kepala sekolah macam apa itu? Jangan-jangan ia tidak mengerti tentang perannya sebagai kepala sekolah," kata Pak Budi.

"Atau mungkin sedang cari muka ke yayasan. Biar dianggap kepala sekolah yang tegas. Tapi, tetap saya tidak setuju dengan caranya. Tidak punya etika," Pak Hari menanggapi.

"Bisa jadi. Tapi kita jangan menuduh terlalu jauh." Pak Budi mencoba menghibur teman barunya itu.

"Tapi apa semua guru yang baru masuk diperlakukan seperti itu ya?" Pak Hari ingin tahu keadaan sebelumnya.

"Tidak. Saya memang diawasi oleh kepala sekolah pas mengajar pertama kali. Setelah itu diberi saran," Pak Budi menceritakan pengalaman pertamanya, "saya ingat persis kepala sekolahnya, waktu itu saya mengajar di SMP, menyarankan agar suara saya lebih keras lagi."

"Terus, guru-guru yang lain?"

"Setahu saya sih awalnya guru baru harus diawasi terlebih dahulu. Nah, kalau disuruh masuk kelas memperhatikan guru lain, seperti mahasiswa praktik, tidak pernah saya dengar. Baru Pak Hari sepertinya."

"Oh begitu ya."

Percakapan masih berlanjut kira-kira 30 menit. Kemudian Pak Hari kembali ke kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.

TBC...

Guru Baru dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang