IV

1K 15 0
                                    

Di kamar barunya, yang baru ia tempati dua hari yang lalu ini, Pak Hari tidak langsung tertidur. Ia beruntung punya teman kerja yang satu kost denganya. Ada teman bicara. Kamarnya berada di lantai dua, pintu kedua dari belakang. Pak Budi berada di kamar paling depan. Ia tahu informasi kamar kontrakan ini dari rekan guru juga, Pak Dodi. Pak Dodilah yang mengenalkan Pak Hari dengan Pak Budi.

Malam itu Pak Hari baru tertidur menjelang pagi. Untungnya besok sabtu. Jadi ia tidak khawatir sama sekali karena tidak ada kegiatan belajar mengajar di hari sabtu. Hatinya masih dipenuhi kekesalan. Ia masih memikirkan perlakuan kepala sekolah terhadapnya. "Biar pun saya dari kampung, biar pun saya miskin, tapi saya punya kemampuan mengajar. Saya pernah mengajar tiga tahun. Malahan diperlakukan seperti mahasiswa magang yang belum pengalaman." Pikiran-pikiran itu muncul terus di kepalanya. Harga dirinya sebagai guru dilecehkan.

Itulah pengalaman pertama Hari mengajar di Sekolah Maju Jaya. Rasa percaya dirinya belum matang betul. Pembawaan sebagai orang kampung masih melekat dalam pikirannya. Gaya bicaranya, pakaiannya, cara berjalannya memang menunjukkan identitasnya dari kampung. Pandangan rendah orang lain terhadap dirinya adalah pikiran yang susah ia singkirkan. Dan dengan mudah ia dilemahkan pikiran-pikirannya sendiri. Perlakuan kepala sekolah di hari pertama terhadapnya menambah beban dalam pikirannya. Dan ternyata perlakuan tersebut berlanjut. Hanya saja Pak Hari tidak tahu akan terulang lagi dengan bentuk yang berbeda.

Waktu terus berjalan. Sudah dua minggu Pak Hari mengajar di sekolah Maju Jaya. Suatu hari ia mendapat giliran pengawasan lagi dari kepala sekolah. Keberadaan kepala sekolah dalam kelas saat mengajar terkadang menumbuhkan rasa gugup dalam dada. Kecuali kalau guru yang diawasi sudah sangat berpengalaman mengajar. Lain dengan Pak Hari, pengalaman mengajarnya belum genap tiga setengah tahun, perlakuan awal kepala sekolah terhadapnya semakin menambah tekanan baginya, menambah rasa gugupnya saat itu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk terlihat nyaman di hadapan murid-muridnya.

Ketika proses pembelajaran hampir selesai, ia berpikir, sebentar lagi ia akan bebas dari mata sang kepala sekolah. Dugaannya salah. Waktu yang kira-kira tingal 5 menit itu digunakan kepala sekolah untuk mengevaluasinya di hadapan para murid. Seketika wajahnya merah padam. Kemana ia akan sembunyikan wajahnya dari tatapan para murid? "Baiklah, cara saya mengajar kurang bagus, tapi jangan di depan kelas saya dikritik," teriaknya dalam hati. Kemarahan dan rasa malunya memuncak. Semburan kritik dari kepala sekolah dan tatapan mata para murid menambah penderitaan hatinya.

Setibanya di kamar, kira-kira pukul 6 sore, ia langsung merebahkan diri di kasur. Melepas penat. Kegiatan belajar mengajar di SMK memang dilaksanakan siang hingga sore hari. Pak Budi, teman sekostnya, belum juga pulang. Temannya itu terkadang bepergian ke Jakarta tanpa ia tahu tujuannya. Ia tidak pernah menanyakan langsung kepada Budi. Pak Budi sendiri mengajar dari pagi hingga sore. Sial benar nasibku, renungnya dalam hati. "Kira-kira apa maksud kepala sekolah memperlakukanku seperti itu? Aku masih baru, tidak punya masalah pribadi dengan siapa pun di sekolah. Atau, kepala sekolahnya memang tidak punya etika? Tidak tahu perannya?" pikiran itu muncul lagi dan masih menjadi teka-teki buatnya.

Tidak mungkin semua kepala sekolah seperti itu, Hari pernah berpikir demikian. Ia juga pernah menanyakan kepada Budi bagaimana kepala sekolah di lembaga lain, tapi tidak ada masalah sama sekali. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan kepala sekolahnya tidak menyukainya karena ia berasal dari kampung, orang udik, tampangnya ndeso, atau penampilannya terlihat kampungan? Berbeda dengan guru-guru lain yang sudah lama di kota? Entahlah. Tapi semua itu menambah kebenciannya terhadap sang kepala sekolahnya sendiri.

Tanpa terasa waktu berjalan. Berbagai peristiwa terjadi baik di sekolah maupun di luar sekolah. Keseharian Pak Hari memang lebih banyak di sekolah. Jarak rumah kontrakannya dengan sekolah hanya 200 meter. Pernah suatu hari saat mengajar, hatinya kesal oleh ulah murid-murid. Ada satu murid yang mengejek logatnya. Murid yang lain mengejek warna kulitnya yang kampungan. Tentu mereka melakukannya dengan bisik-bisik. Tetapi saat itu Pak Hari sempat mendengar bisik-bisik tersebut. Dan ia pun marah. Peristiwa itu membawa ingatannya kembali ketika pertama kali berangkat ke Bogor. Ternyata diskriminasi itu masih ada. Orang-orang kota masih merasa superior, pikirnya, dibanding orang kampung seperti dirinya.

TBC...

Guru Baru dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang