Ini kisah seorang guru baru, Pak Harianto namanya. Pak Hari, begitu ia dipanggil di sekolah, tergolong guru muda. Pengalaman mengajar di kampungnya baru tiga tahun. Ia mengajar mata pelajaran matematika dengan gaji yang jauh di bawah cukup karena statusnya sebagai guru honor di sekolah swasta. Honor yang dia terima sekitar tiga ratus ribu rupiah per bulannya. Kadang dibayar dua bulan sekali. Sebagai tambahan honornya, ia dipercayakan kepala sekolah sebagai operator sekolah. Jadi kalau ada guru yang hendak mengurus pemberkasan kenaikan pangkat atau sertifikasi, maka mereka akan menghubungi Pak Hari.
Karena honor yang tidak seberapa Pak Hari mulai berpikir akan hari depannya. Jelas dengan pendapatannya sekarang tidak mungkin ia bisa menabung. Meskipun sudah bekerja tiga tahun. Tidak ada perubahan kondisi sama sekali. Pekerjaan sampingan di rumah tidak membuahkan keuntungan yang banyak. Jangankan keuntungan dari warung milik orang tuanya, malahan mereka lebih sering menghadapi warga yang sering mengutang. Warung yang dulu besar lambat laun nyaris tutup. Pak Hari pun berpikir untuk mencari pekerjaan di kota besar. Entah di kota mana asal nasibnya berubah.
Suatu hari ia membaca di surat kabar lokal ada lowongan mengajar di sebuah yayasan pendidikan di kota Bogor. Tapi kota Bogor itu sangat jauh dari kampungnya, desa P, sebuah desa di Jawa Tengah. Ia pun meminta saran dan nasihat dari kedua orang tuanya. "Bapak, saya baca ada lowongan mengajar," katanya kepada bapaknya, "tapi jauh, di Bogor." Bapak dan Ibunya tidak langsung memberi tanggapan. "Kalau Bapak dan Ibu mengizinkan saya mengirim lamaran kerja ke sekolah itu, maka besok atau lusa saya kirim lewat pos. Siapa tahu rezeki."
Keesokan hari di saat makan malam seperti biasa keluarganya berkumpul.
"Setelah bapak ibu menimbang-nimbang," Ayahnya berkata, "tidak masalah kau coba saja kirim lamaran kerjamu ke sekolah itu. Sekolah apa namanya?"
"Sekolah Maju Jaya, Pak."
"Oh. Baiklah. Toh juga belum tentu diterima, kan? Coba saja."
Hari sudah mendapat izin dari orang tuannya. Malam itu juga ia menuliskan lamaran kerjanya. Dalam hati ia menimbang-nimbang. Keraguan pun muncul dalam kepalanya. Bagaimana mungkin seorang guru desa bisa mengajar di kota? Anak-anak kota kan kaya-kaya. Belum lagi bahasanya. Nanti logat Jawaku yang kental ini bisa jadi bahan tertawaan murid-murid di sana. Semua pikiran itu menyerangnya hingga melumpuhkan semangatnya. Kalau saja bukan karena ingin mengubah nasib keluarganya, mungkin ia sudah berhenti.
Lamaran kerja sudah terkirim seminggu yang lalu namun belum ada panggilan. Setiap kali telfon genggamnya berbunyi ia pikir itu panggilan kerja. Benar saja lamaran kerjaku tidak mendapat tanggapan, pikirnya. Bisa jadi di kota sana lebih banyak pesaing yang lebih memenuhi kualifikasi sekolah tersebut. Terlebih lagi kalau pelamar lain berasal dari kampus-kampus di kota. Pastilah ia, sebagai lulusan kampus di kampung, kalah terkenal. Nama kampusnya saja tidak terkenal apalagi kualitasnya tentu jadi pertimbangan pihak sekolah itu. Sudahlah mungkin belum rezeki, katanya suatu saat kepada orang tuanya.
"Oh gitu ceritanya Pak Hari bisa sampai di sini?" kata seorang rekan baru Pak Hari yang juga teman satu kostnya. Temannya ini, bernama Pak Budi, berasal dari Sumatera Utara. Mereka mengobrol di kamar Pak Budi.
"Iya. Saya juga tidak percaya bisa diterima di sekolah ini."
"Tapi bagaimana pengalaman mengajar pertama kali di sekolah ini?"
Percakapan terus berlanjut. Kaku. Wajar karena mereka baru saling kenal.
"Asyik sih anak-anaknya. Awalnya saya pikir mereka akan berisik. Nyatanya tidak. Beberapa memang masih mengetawakan logat saya. Habis, ini tidak bisa diubah. Memang begitu pembawaannya."
Keduanya tertawa. Jam menunjukkan pukul 8 malam.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Guru Baru dari Desa
Historia CortaKisah tentang seorang guru baru yang menghadapi perubahan dari desa ke kota. Di balik tembok sekolah tidak melulu soal: guru mengajar, siswa belajar. Ada kehidupan kompleks di dalam sana. Bagi guru, pindah kerja atau pindah sekolah sama saja dengan...