II

1.5K 18 0
                                    

Pak Hari mendapat panggilan ujian dan wawancara setelah sebulan. Panggilan dari sekolah Maju Jaya. Itu satu-satunya panggilan yang ia dapatkan dari sekian sekolah yang ia ajukan lamaran kerja. Sebenarnya ia sudah tidak berharap lagi. Ketika panggilan itu tiba tanggapannya biasa saja. Ia berangkat dengan barang seadanya. Di dalam kereta ia terus merenung. Kota Bogor tak pernah ia injak sama sekali. Jangankan Bogor, Yogyakarta, yang dekat dengan kampungnya, baru dua kali ia kunjungi. Dan hanya dua hari paling lama ia tinggal di sana. Kota Bogor itu seperti apa ia belum ketahui. Ke Jakarta dan Depok pernah sekali sewaktu kuliah dulu. Lima tahun yang lalu ketika ada sanak saudaranya menikah. Sanak keluarganya itu kini tinggal di Depok. Ke sanalah ia akan menginap selama proses ujian dan wawancara kerja nanti.

Di perjalanan pikirannya terus mengganggunya. Kira-kira ujiannya susah, apa saja yang ditanyakan saat wawancara, berapa gaji yang akan ditawarkan, guru-guru di sana mudah bersahabat atau tidak, bagaimana dengan murid-muridnya. Ah, semua hanya menimbulkan kekhawatiran.

"Selamat Pagi, Pak, saya Hari yang dapat panggilan kerja di sekolah ini," katanya kepada Satpam.

"Selamat pagi, apa Bapak sudah bikin janji sebelumnya?"

"O... sudah. Katanya saya menemui Ibu Sri."

"Baik, Pak. Ruang Bu Sri ada di lantai dua," Pak Satpam mempersilakan tamunya masuk sambil menunjuk arah.

Pak Hari masuk dengan ragu-ragu. Sekolah ini berlantai empat. Lumayan besar. Ia seperti masuk dalam sebuah kotak besar. Hatinya menciut seketika. Tidak mungkin saya diterima di sekolah ini, bisiknya dalam hati. Tapi sudah terlanjur di sini. Pantang surut. Ia menyemangati dirinya sendiri.

Ujian tertulis selesai. Tinggal menunggu hasil. Ternyata ada lima pelamar lain, calon guru matematika pula, seperti dirinya. Tantangan berat. Hatinya tambah menciut.

Setelah istirahat setengah jam, proses wawancara berlangsung dengan Bu Teti, wakil koordinator yayasan. Pak Hari gugup awalnya. Tapi ia merasakan ketenangan ketika Bu Teti menunjukkan keramahannya. Seolah-olah sudah lama berkenalan dengan dirinya.

"Jadi Pak Hari ingin gaji berapa?" tanya Bu Teti tentang gaji.

"Sejujurnya saya tidak tahu standar gaji di sekolah ini berapa, Bu." Pak Hari kebingungan. Seketika ia teringat honornya yang hanya tiga ratus ribu sebulan. Seandainya ia meminta gaji besar, jangan-jangan dikira tidak tahu diri. Tapi kalau mintanya terlalu kecil, susah juga. Pikirannya terus menimbang-nimbang. Ia tidak berpengalaman soal ini.

"Kenapa, Pak? Bingung?" Bu Teti mencoba mencairkan suasana, "begini saja, saya tawarkan Anda 2,2 juta. Bagaimana, Pak?"

Hatinya terlonjak kaget. Apa? Dua juta dua ratus ribu? Itu besar sekali untuk ukuran kampungnya. Sampai-sampai ia lupa menjawab pertanyaan dari Bu Teti.

"Bagaimana, Pak? Kalau setuju, saya akan sampaikan ke koordinator yayasan. Tinggal menunggu hasil ujian tertulis Bapak."

"Setuju, Bu," jawabnya tanpa berpikir panjang lagi. Senang. Namun ada hal yang mengganjal yaitu hasil ujian tertulisnya dan ditambah pertanyaan lain dalam wawancara yang ia jawab seadanya. Itupun terkadang terbata-bata. Hatinya kembali surut.

Ujian tertulis dan wawancara berjalan lancar. Hanya saja Hari tidak percaya diri. Karena itu, sore harinya ia memutuskan pulang ke kampung dengan naik bus. Sanak keluarganya di Depok sudah memberinya semangat. Setidaknya menunggu dua hari lagi untuk pemanggilan. Ia bersikeras untuk pulang sore itu juga.

TBC...

Guru Baru dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang