🥀
Suasana meja makan dikediaman Adhyaksa berlangsung sepi, karna sebagian dari penghuninya memilih untuk menyibukan diri diruangannya masing masing.
Seperti halnya Bian yang memilih untuk mengurung diri didalam kamarnya setelah Arin menjelaskan semua tentang masa lalunya, dan alasan atas kehadiran Jean ditengah tengah mereka.
Pun Jeremmy yang rasanya masih tak cukup mampu untuk menerima kenyataan, dan memilih berkas kantornya sebagai pengalihan atas segala isi kepalanya yang berkecamuk, termasuk Liam yang menjadikan tumpukan kaset video game dikamarnya sebagai pengalihan.
Hanya Jean dan Arin yang menjadi penghuni meja makan yang luas itu, pun rasanya Jean tak memiliki hak dirumah ini dan berpasrah atas apapun yang Arin inginkan padanya.
Termasuk untuk memanggilnya mami, karna memang sudah seharusnya seperti itu bukan? Pikir Jean.
"Jean makan sama mami dulu gapapakan sayang? Papi kayanya masih sibuk sama urusan kantornya, mas Liam sama kak Bian juga kayanya sama." bak seolah Jean adalah anak kecil yang tak mengerti apa apa, Arin memberi pengertian disela gerakan tangannya yang menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.
Padahal tanpa dijelaskan seperti itu saja, Jean sudah tau alasan ketidak hadiran kepala keluarga Adhyaksa dan anak anaknya dimeja makan malam ini adalah karna dirinya.
Jean tak memiliki tempat dirumah ini, dan hadirnya mungkin hanya akan mempersulit semua orang.
"Iya gapapa mih,"
🥀
"Mas Dean pernah ngga sih mikir mau jadi paus?" celoteh random Jean utarakan, begitu sambungan teleponnya diangkat oleh orang diseberang sana.
Mengingat sejak kedatangan Jean dirumah ini, rasa rindu pada rumah dan kakaknya membuat Jean memilih undur diri selepas makan malam.
"Aku masa kepikiran mau jadi paus masa mas," adunya riang, walaupun sesekali dirinya harus meringis sakit saat organ seukuran kepalan tangan itu berulah didalam sana.
"Jean," panggilan halus dari seberang sana membuatnya ingin menangis.
"Mas Dean lagi di studiokan?"
"Jean,"
"Jean boleh kesana ngga? Jean mau cerita kenapa paus itu keren banget sampe Jean mau jadi paus."
"Jean dengerin mas." sentakan Dean membuat yang lebih muda terdiam, tak lagi mencoba menyauti ucapan sang kakak dengan celoteh anehnya.
"Sekarang adek istirahat ya, besok pagi mas bakal jemput kamu disana."
"Mau sama mas sekarang," lirihnya pelan, sampai Jean rasanya yakin kalau kakanya tak akan mampu mendengar lirihannya.
Ia butuh kakaknya, Jean butuh keluarganya.
"Adek dengerin mas, sekarang kamu istirahat. Obatnya diminum, kalo sampe tiga jam berikutnya jantungnya masih rese, telpon mas aja gapapa." ucap Dean lembut. Sekalipun tak ada didekat adiknya, Dean cukup khatam diluar kepalanya ketika Jean mulai berceloteh aneh tak masuk akal seperti barusan.
Itu hanya cara Jean mengalihkan rasa sakitnya, sekalipun malam ini Dean sendiri tak tau mana satu rasa sakit yang Jean rasakan. Apakah sama seperti sebelumnya, saat jantung itu kembali berulah disaat pemiliknya sedang tak melakukan kegiatan apapun atau rasa sakit atas kenyataan yang baru saja Dean dapatkan dari ibunya.
"Jean anak kuat, Jean anak baik. Besok pagi mas janji bakal jemput adek, terus kita pergi kemanapun adek mau. Gapapa besok adek bolos sekolah, mas engga akan marah."
"Telponnya mas tutup ya? Mas sayang adek." sampai akhirnya sambungan telepon diputus sepihak, dan Jean masih tak cukup mampu untuk membalas ucapan sang kakak.
Jean memilih mengusap sisa air mata dipipinya, tak sadar sejak kapan pipinya menciptakan anak sungai dari air matanya, lantas bangkit.
Melakukan semua yang kakaknya perintahkan, karna besok pagi. Dean berjanji untuk menjemputnya dan membawa kemanapun dirinya inginkan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Fanfiction⠀ ⠀ He had promised to hold on, even though everyone kept yelling at him to stop. ⸂ © 𝗻𝗮𝗿𝘁𝗰𝗶𝘀𝘀𝗶𝘀𝗺, 𝟮𝟬𝟮𝟭. ⸃ ⌕ DISCONTIUNED