4. everything's gonna be okay.

615 109 7
                                    

🥀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥀

Silau dari cahaya matahari mampu membuat tidur lelapnya terusik, lantas membuat mata indah yang seharian kemarin bersembunyi kini kembali ke permukaan.

Sesekali matanya Jean pejamkan, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk sembari mengumpat.

Mengumpat pada terik mentari yang mengusik istirahatnya, dan membuatnya kembali pada realita. Bahwa kini, dirinya hanya seorang diri. Tak ada lagi tangan hangat milik bunda yang menggenggam erat tangannya, atau tangan besar sang ayah yang mengusap lembut surai rambutnya sembari menatap senang kearahnya.

Atau yang paling Jean rindukan, adalah raut kekhawatiran diantara deraian air mata milik Dean Mahendra, kakak kesayangannya.

"Lo," kalimat gantung mengalihkan atensi Jean, menatap jenaka pada sosok saudara kembarnya yang berdiri canggung didepan pintu kamar rawatnya.

Terlihat jelas bagaimana Liam Adhyaksa yang kebingungan untuk melanjutkan kalimatnya, dari bagaimana sebelah tangan yang menggaruk tengkuk lehernya yang bisa Jean pastikan tidaklah gatal.

"Gue disini karna disuruh mami, lo jangan geer."

"Gue? Engga tuh." balas Jean datar.

"Li,"

Belum sempat panggilannya Jean selesaikan, Liam lebih dulu menyela, membuat yang lebih muda beberapa menit darinya itu berdecak tak suka, "Jangan ajak gue ngomong."

"Lo pernah ngga sih lagi diem, terus tiba tiba kepikiran mau jadi anak mafia." celoteh Jean, total abai pada peringatan Liam untuk tak mengajak pemuda itu berbicara.

"Kaya, gila ngga sih bakal sekeren apa gue."

"Terus,"

"Lo aneh." sentak Liam cepat, membuat imajinasi Jean yang sudah siap dilontarkan hilang dalam sejekap.

"Mending lo keluar deh, orang yang punya penyakit jantung kaya gue bisa cepet matinya kalo diajak ribut soalnya."


🥀

Sampai siang hari, dan perawat yang bertugas mengantarkan makan siang. Jean masih seorang diri, lupakan sosok Liam Adhyaksa yang sempat singgah lalu memilih pergi setelah secara tak langsung Jean usir.

Baginya Liam benar benar manusia super menyebalkan, nyaris setengah harinya Jean habiskan untuk memaki pemuda yang berstatus sebagai kembarannya itu.

Dan selama itu pula, Jean merasa kesepian. Biasanya kala Jean dikurung dirumah sakit seperti saat ini, akan ada bunda yang menemaninya sampai ayah atau kakaknya datang.

Tapi kini, jangankan bunda. Sosok wanita yang berstatus ibu kandungnya dan Jean panggil mami pun sampai detik ini tak kunjung menemuinya.

Berpikir mungkin saja mami Arin tak mengetahui kondisinya saat ini, tapi akan aneh jadinya saat Liam mengatakan kedatangannya atas perintah dari sang mami.

"Mikirin apa sih!" tegur bernada halus, tak lupa sentilan dikening membuat Jean tersadar.

Sepertinya melamun kini menjadi hobi terbaru Jean, selain membuat kakaknya khawatir bukan kepalang.

"Mikirin apa kamu?" ulang Dean, saat yang lebih muda tak kunjung memberi jawab.

"Engga mikir sih, cuman aku lagi mendalami peran sebagai hatchi aja." sautan riang Jean, tak berdampak sama pada Dean.

Justru sendulah yang singgah diwajah yang lebih tua, mungkin pertengkaran semalam dengan sang ibunda menjadi pemicu betapa sensitif si sulung Mahendra itu saat ini.

"Obatnya udah diminum?"

"Mas,"

"Oh adek belum makan ya, mau mas suapin?"

"Mas Dean,"

"Masih ada yang sakit ngga? Mau mas panggilin ayah?"

"Jean butuh apa, bilang sama mas."

"Mas kenapa?" pertanyaan singkat Jean membuat gerakan Dean terhenti, terlebih saat tangan besar sang adik menahan kedua pergelangan tangannya.

"Adek tinggal sama mas aja yuk, jangan khawatir penghasilan dari studio mas lumayan kok buat beli obat sama check up adek."

"Mas, sekarang aku bukan tanggung jawab kalian lagi tau." saut Jean santai.

Genggaman tangan pada pergelangan yang lebih tua, Jean lepaskan. Memilih plafon putih rumah sakit menjadi objek paling cocok untuk Jean pandangi sembari menerawang.

"Mas engga usah segitunya, apapun itu aku engga akan nanya alasannya. Yang jelas, mas engga usah repot repot soalnya aku bukan lagi tanggung jawab ayah, bunda apalagi mas Dean."

Senyumnya masih mampu Jean ukir, walau sebenarnya yang ingin dirinya lakukan saat ini adalah menangis. Tapi Dean Mahendra sudah lebih dulu melakukannya, membuat Jean semakin enggan untuk ikut menangis.

Menangisi takdir dirinya, tidaklah seburuk itu. Jean hanya perlu berusaha lebih keras untuk mendapatkan tempat dan bertahan seperti yang sebelumnya Jean lakukan selama ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ

🥀

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang