🥀
Kepulangan Jean disambut bahagia oleh sang mami, walau selama dua hari dikurung dirumah sakit wanita cantik itu tak datang berkunjung sama sekali.
Justru Liam Adhyaksa lah yang sesekali bertamu, walau berakhir dengan saling mengumpat dan salah satunya mengalah, entah pergi meninggalkan ruangan atau bersembunyi dibalik selimut rumah sakit.
Mengatas namakan sibuk adalah hal yang Jean dengar begitu sampai dirumah dan Arin memeluknya erat sembari meminta maaf karna sampai Jean dipulangkan wanita cantik itu tak bisa menemaninya, hanya Liam dan Bian yang datang untuk menjemput dan mengurus segala administrasi kepulangannya.
Dan setelahnya, Jean diantarkan ke kamar. Karna Arin yang kembali meminta maaf karena harus pergi, entah kemana Jean tak berniat bertanya dan ingin tau.
Hubungan mereka belum sedekat itu, sampai Jean punya hak untuk mengetahui lebih jauh.
"Boleh masuk?" cicit pelan setelah ketukan, membuat Jean yang sedang berbaring diatas tempat tidurnya bangkit.
Memilih mengambil posisi yang nyaman, guna mendengarkan apa yang ingin Bian lakukan dikamarnya, karna sejak datang untuk menjemputnya tadi pagi pun anak itu sudah menunjukan gestur untuk mengatakan sesuatu pada Jean.
"Jangan rebut Liam dari gue." ucap Bian.
"Dirumah ini, cuman Liam yang gue punya." lanjut Bian setelahnya.
"You have mami and papi too." saut Jean, berusaha sebisa mungkin untuk tidak melontarkan kalimat penuh umpatannya.
Tolong diingat, Jean baru saja keluar dari rumah sakit setelah dua hari yang lalu tumbang akibat omongan tak terfilter dari Liam, apakah hari ini kejadiannya harus kembali terulang. Disaat yang Jean perlukan adalah istirahat.
"Tapi lo lebih punya hak atas mami papi." saut Bian pelan.
"Ya berarti gue punya hak juga dong atas Liam, he's my twin, right?" kelakar Jean, kekehan merdu tanpa irama menjadi melodi yang ia berikan setelah selesai membalikan kalimat pemuda didepannya.
"Liam kembaran gue."
"To the point aja deh, lo ke kamar gue cuman mau ngomong gitu doang?" sarkas Jean. Meninggalkan posisi ternyamannya, hanya untuk bangkit. Guna lebih memudahkan Jean menatap nyalang yang masih berstatus bungsu Adhyaksa itu.
"Gini ya Bian Adhyaksa, dengerin gue. Sekalipun status lo dirumah ini tuh anak pungut nih dan gue anak kandung. Tapi derajat lo tuh lebih tinggi daripada gue disini, so chill bro."
"Engga akan ada yang bisa rebut Liam dari lo, termasuk mami papi. Mereka milik lo, Bian."
"Lo cukup jadi temen gue aja, gimana? At least gantiin tugas kakak gue buat dengerin omong kosong gue." sambung Jean, tak lupa senyum yang ia tampilkan.
Memang sudah seharusnya seperti ini kan? Tak seharusnya Jean terus menerus menyusahkan keluarga Mahendra, disaat hari dimana bundanya menyerahkan Jean pada keluarga kandungnya adalah sebuah tanda.
Tanda bahwa tak seharusnya lagi Jean menggantungkan seluruh hidupnya pada mereka, terutama pada Dean mahendra.
🥀"Buat papi," secangkir kopi hitam Jean sodorkan kehadapan yang paling tua, lengkap dengan senyum sabit milik Jean Mahendra sebagai pemanisnya, tanpa ada maksud apapun.
Hanya kebetulan Jean yang sulit tidur dan berniat ingin membuat coklat hangat, lalu sosok Jeremmy datang tak lama setelahnya.
"Jean," panggil Jeremmy, membuat Jean yang sedang meniup isi coklat hangatnya menoleh.
"Kamu tau kan, saya belum bisa nerima kamu dirumah ini."
Ucapan Jeremmy diangguki Jean santai, tak berniat menyauti lebih jauh. Karena sejak awal pun Jean tau keberadaannya tak akan mudah diterima. Karna sesungguhnya dirinya sendiri pun sampai detik ini masih tak terima kenyataan itu.
Bagaimana bisa saat pagi dirinya masih bagian dari Mahendra, lalu saat siang menjelang sore didepan bundanya status Jean dalam sekejam berganti menjadi putra Adhyaksa yang dititipkan karna alasan ekonomi dan penyakit menyebalkannya? Jean tak habis pikir rasanya.
"Kamu ngapain masih berdiri disitu? Sini, duduk samping papi." hanya kalimat bernada lembut yang Jeremmy berikan, tentu setelah menikmati sedikit kopi hitam buatan buah hatinya.
Sedangkan Jean setelah tersadar dari lamunannya, tanpa diminta untuk kedua kalinya memilih menurut. Meletakan mug berisi coklat hangatnya lebih dulu, sebelum akhirnya menarik kursi tinggi tepat disebelah sang papi.
"Kamu mirip papi." diusaplah perlahan wajah yang lebih muda, mengabsen tiap jengkal wajah bayi laki laki yang saat pertama kali lahir Jeremmy rengkuh erat sembari menunggu tangisan pertamanya.
"Dulu, waktu kamu baru lahir papi peluk, erat banget sampai papi nangis, soalnya kamu kecil banget takut papi peluk kamunya terlalu erat." cerita Jeremmy, mengulas kembali kenangan masa lalu.
Dimana Arin, sang istri dilarikan kerumah sakit. Saat itu, keluarga mereka sedang terpuruknya. Jeremmy ingat sekali, bagaimana dirinya harus rela menjual mobil kesayangannya hanya untuk membayar biaya persalinan sang istri.
"Terus, papi nangis juga waktu kamu belum boleh dibawa pulang. Dokter bilang masih ada pemeriksaan lebih lanjut, jadi papi cuman bisa bawa pulang mami sama Liam."
"Dan baru tiga hari kemudian kamu boleh pulang, tapi papi engga sadar kalo bayi yang mamimu bawa pulang itu Bian, maafin papi ya nak." cerita nostalgia Jeremmy nya telah menemui akhirnya, lalu disusul pelukan hangat dari yang lebih muda.
"Terima kasih pih." bisik Jean dibalik pelukan hangat Jeremmy, tak ada lagi kalimat yang mampu Jean berikan selain ucapan terima kasih.
Dan dibalas usapan hangat dipunggung, mencari kembali rasa kasih sayang dan haru yang pernah Jeremmy rasakan saat perawat muda memintanya untuk menggendong bayi Jean.
"Kamu anak papi, selamanya bakal seperti itu. Maafin papi yang jahat sama kamu kemarin ya sayang."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Fanfiction⠀ ⠀ He had promised to hold on, even though everyone kept yelling at him to stop. ⸂ © 𝗻𝗮𝗿𝘁𝗰𝗶𝘀𝘀𝗶𝘀𝗺, 𝟮𝟬𝟮𝟭. ⸃ ⌕ DISCONTIUNED