3. gores takdir dari semesta.

653 115 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





🥀




Belum sempat matanya Jean pejamkan, cahaya yang masuk karna pintu yang dibuka membuatnya kembali terjaga.

Menatap datar pada seseorang yang tak kalah datarnya, berdiri angkuh dengan kedua tangan yang bersedikap dada.

"Gua ngga tau alasan lo dateng kesini murni karna emang seharusnya lo ada disini atau cuman buat ngehancurin keluarga gue," ucapnya dingin, namun tak membuat Jean merasa takut dengan aura mencekam yang dipancarkan pemuda yang katanya kembarannya itu.

"Tapi satu hal yang perlu lo inget, sampai kapan pun kembaran gue cuman Bian, bukan lo." sambung Liam, lantas pergi begitu saja.

Membuat kerutan dikening Jean terbentuk apik disana, Jean pikir Liam adalah manusia teraneh dirumah ini. Masuk seenaknya tanpa permisi, berbicara omong kosong dan pergi semau dirinya.

"Orang gila." maki Jean, lalu kembali berbaring.

Niatnya memang untuk beristirahat, tapi omongan Liam layaknya lagu yang baru saja disukainya dan diputar terus menerus secara nonstop diotaknya.

"Ahh monyet nih gue mau tidur jadi gak jadi kan." makinya lagi, saat usahanya untuk terlelap gagal total karna omongan Liam barusan.

Sejak awal pun, Jean tak tau alasannya dateng kerumah ini untuk apa.

Apa mungkin yang Liam katakan itu benar, ia datang hanya untuk menghancurkan keluarga ini. Atau memang seharusnya sejak awal dirinya ada dirumah ini, kalau seandainya ibu kandungnya tidak setega itu menyerahkan Jean pada orang lain.





🥀




"Kok kusut dek?" sapaan Dean hanya mampu dibalas dengusan kesal dari yang lebih muda.

Bagaimana tidak kusut, kalau Jean baru berhasil tidur saat jam menunjukan angka tiga dan alarm ponsel yang Jean setel pukul lima berbunyi tak lama setelahnya.

"Dean tante, masnya Jean." sapa Dean, memperkenalkan diri pada wanita anggun yang ikut bersama Jean, mengantar pemuda berwajah kusut itu pada pemuda lain yang semalam telah berjanji akan menjemput dan mengajak Jean pergi kemanapun anak itu inginkan.

"Jangan malem malem pulangnya ya nak Dean," pesan Arin.

"Diusahakan tante," balas Dean sopan.

"Yuk." ajak Dean setelah menyalami ibu kandung adiknya, sekalipun sisi dari dirinya Dean masih tak terima kalau Jean bukanlah adik kandungnya.

Lantas mobil audi yang Dean kemudikan melesat jauh dari kediaman Adhyaksa, membelah jalanan ibu kota dipagi hari dengan musik sebagai teman jalan. Karna orang disebelahnya yang memilih memejamkan mata, dan Dean tak sampai hati untuk mengusik istirahat sang adik.

"Aku baru tidur dua jam tau mas," adu Jean tiba tiba, saat merasa mobil yang Dean kendarai berhenti karna lampu merah.

"Terus rasanya bangun bangun aku mau jadi paus,"

"Ya Tuhan," keluh Dean sekenanya, dirinya pikir obrolan soal adiknya yang ingin menjadi paus sudah selesai semalam, tepat saat dirinya menyuruh yang lebih muda setahun itu istirahat, ternyata prasangkanya salah.

"Nih," tangan yang bebas, Dean ulurkan pada sang adik. Pun Jean tanpa bertanya lebih, menerima uluran tangan sang kakak dan menggenggamnya erat.

Menyalurkan rasa sakit yang sejak semalam sulit untuk Jean redakan, terlebih jam tidur yang kurang karna memikirkan ucapan Liam benar benar membuat jantungnya yang sudah berulah sejak awal kedatangannya dirumah Adhyaksa seolah enggan berdamai dengan dirinya, sekalipun Jean rasanya nyaris overdosis obatnya sendiri, karna tak kuat menahan rasa sakitnya semalam.

Berbeda dengan Jean yang kembali terdiam setelah berhasil menggenggam tangan sang kakak. Dean memilih untuk mengemudikan mobilnya dipinggir jalan dengan kecepatan rendah, sesekali wajahnya meringis akibat rematan sang adik yang dirasa terlalu kuat.

Akan selalu begitu tiap kali Jean kambuh, karna dibandingnya memberi tanya apakah Jean baik baik saja, mengulurkan tangan untuk dijadikan pelampiasan rasa sakit kala jantung milik Jean berulah, adalah jalan yang selalu Dean pilih.

Sampai akhirnya yang lebih muda sendirilah yang menyerah atas rasa sakitnya dan tak akan lagi membantah saat Dean membawa Jean ke rumah sakit.



🥀




Wajah tenang berbalut masker oksigen tak membuat yang lebih tua merasa tenang, justru rasanya semakin resah saat waktu yang terus bergulir tapi sepasang mata indah itu masih setia dalam pejamnya.

Jean collapse tak lama setelah Dean memberikan tangannya untuk diremat yang lebih muda, membuat yang lebih tua setahun memacu mobilnya diatas rata rata karna terlalu khawatir saat genggaman itu mulai mengendur dan deru napas yang nyaris tak bisa Dean rasakan saat itu.

Serangan jantung adalah pernyataan yang dokter berikan ketika ayahnya datang masih lengkap dengan seragam putih kedokterannya.

"Pulang yuk mas?"

"Nanti aja bun, nunggu adek sadar." tolak Dean halus.

"Pulang aja yuk mas, bentar lagi keluarganya Jean dateng." sekali lagi Seina mencoba, namun kali ini tak ada respon yang dapat Dean berikan.

Bingung rasanya, terlebih saat bundanya mengatakan kalau keluarga adiknya akan datang. Bukankah keluarga Jean sudah datang, bukankah dirinya juga bagian dari keluarga Jean?

"Bun, adek nyusahin bunda sama ayah ya? Kalo iya, gapapa bun biar mas aja yang jagain adek dari sekarang. Biar mas yang bakal menuhin semua kebutuhan adek, tapi jangan pisahin mas sama adek ya bun." pintanya penuh sesak, jujur Dean masih tak mampu menerima takdir.

Bagaimana mungkin dalam sekejam mata, takdir menjadi jahat pada dirinya dan Jean. Membuat keduanya merasa dipisahkan satu sama lain, disaat seumur hidupnya, yang Dean pikirkan hanyalah Jean. Begitupun sebaliknya, bagaimana mungkin Jean bisa hidup baik baik saja, jika seluruh hidupnya Jean gantungkan pada kakaknya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ

🥀

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang