A boy named Donghyuck.

110 14 2
                                    


"Kamu itu anak pungut! Nggak usah kebanyakan gaya. Belajar yang rajin. Lihat, Jisung lebih pinter dari kamu!"

"Mau jadi apa kamu ? Hah ?! Harusnya kamu itu sadar diri Jihyeon!! Anak pungut seperti kamu itu nggak pantes ada disini!!"

"Dasar anak pungut!!!"


Teriakan nenekku masih terngiang dengan jelas di telingaku. Semakin lama semakin keras. Bahkan ketika aku menutup kedua telingaku.

Teriakan bahwa aku anak pungut terus berulang, membuat dadaku sesak.

Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk menikmati belaian angin sore di taman dekat rumah. Sambil memainkan karet gelang di pergelangan tangan kiriku yang sesekali ku tarik dan kulepaskan begitu saja.

Aku mencoba menghilangkan suara nenek yang masih keras terdengar di telingaku atau bahkan menghilang dari muka bumi ini, selamanya.

'apa yang harus aku lakukan ?'

'bunuh diri ?'


Andai saja bunuh diri tidak menyakitkan dan tidak dosa, dan andai saja aku tahu kalau hidupku berjalan seperti ini, akan lebih baik jika aku mati saat aku dilahirkan di dunia yang kejam ini.

Karena sekeras apapun aku mencoba membenahi diri. Aku tidak akan pernah sama seperti Jisung yang selalu di banggakan keluarga terutama nenek. Jisung yang notabenenya anak kandung keluargaku, keturunan asli mereka.

Di mata nenek, aku hanyalah sebutir debu yang sangat tidak berguna dan tidak akan pernah berguna. Meskipun aku mencoba memperbanyak jumlahnya dan mempercantik bentuknya agar telihat baik, debu tetaplah debu.
Pada akhirnya akan dibuang begitu saja.

Aku menghela nafas panjang dan terus memainkan karet di tanganku. Sampai pergelangan tanganku mati rasa. Kalau dengan cara seperti ini aku bisa mati akan lebih baik daripada aku harus terjun dan menenggelamkan diri di sungai Han tapi nyatanya aku bisa berenang dan kembali ke permukaan dengan selamat.

"Aw!" Teriak seseorang di sebelahku.

Aku berjengit kaget dan segera membuka mataku. Aku mendapati seseorang mengenakan kaos bergambar Michael Jackson dan jaket hitamnya sedang meniup jari-jarinya di sebelahku.

"Aw, sakit," keluhnya memelas menatapku.

Aku mengangkat satu alisku. Lalu berdiri dari dudukku dan meninggalkan cowok itu sendirian.

"E—eh mau kemana ?"

Aku terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan dia.
Lagian salah siapa coba ? Nggak kenal juga.

"Eh tunggu dong, tanggung jawab dulu," dia menarik pelan bahuku.

Aku menatapnya sambil mengerutkan kedua alisku. Maunya apa sih ?
"Emang aku salah apa ?"

"Ini sakit tau," katanya menunjukkan jari nya yang memerah.

"Ya terus ?" Tanyaku masih menatap kedua matanya.

Dia mengalihkan pandangannya kesembarang tempat. "Y-ya tanggung jawab."

"Tanggung jawab ? Kan salah kamu sendiri, kenapa aku yang tanggung jawab ?" Ketusku dan meninggalkannya, lagi.

"Jihyeon!"

Aku menghentikan langkahku dan menoleh kebelakang, seseorang dengan jaket hitamnya itu berlari kecil ke arahku. Menarik paksa tangan kiriku dan menyibak sweater yang menutupi pergelangan tanganku.

Aku mencoba menarik tanganku tapi tenaganya lebih kuat dariku.

"Sebentar," katanya sambil menuntunku ke arah bangku taman yang kebetulan berada tak jauh dari kita berdiri.

Cowok itu kembali menatap pergelangan tanganku yang terus mengeluarkan darah dengan sesekali berdesis pelan.

"Sebentar ya, tunggu sini dulu. Sebentar banget, jangan kemana-mana," ucapnya sambil berdiri dan kemudian berlari entah kemana.

Aku menatap pergelangan tanganku yang merah memar. Darah segar terus keluar meskipun tidak terlalu banyak. Mungkin karena mati rasa, jadi aku tidak sadar kalau berdarah. Aku meniupnya pelan dan rasa sakitnya mulai terasa. Sial!

Di kejauhan terlihat seseorang tadi membawa satu kantung kecil dan terus berlari ke arahku.

"Coba sini lihat tanganmu," katanya sesaat setelah sampai di dekatku.

Aku menarik lengan sweater yang menutupi lukaku dan mengarahkannya ke arah seseorang tadi.

"Nggak sakit apa ?"

"Nggak," kataku sambil sesekali meringis menahan rasa sakit yang terus menjalar.

'Sial, aku tidak boleh terlihat lemah,' gerutuku dalam hati.

"Ngomong-ngomong kamu kenapa sih mainin karet kayak gitu ?" Tanyanya sambil masih berkutat dengan lukaku dan beberapa kapas dan obat luka.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan sibuk meredam rasa sakit agar tidak kelepasan berteriak. Karena sumpah ini sakit banget dan aku nggak mau terlihat lemah.

"Nah sudah selesai," dia menutupi pergelangan tanganku dengan sweaterku dan dengan pelan menaruhnya di pangkuanku.

"Thanks," ucapku singkat.

"Iya, sama sama. Oh iya! Namaku Lee Donghyuck. Kalau kamu lupa," dia mengulurkan tangannya di depanku.

Aku menjabat tangannya, belum sempat aku berkata seseorang memanggilku. "Jihyeon!"

Suaranya itu menggema, aku memutar kepalaku mencari sumber suara dan kembali menatap Haechan yang tersenyum di depanku. Beberapa orang di sekitarku berjalan perlahan seperti kekurangan tenaga, bahkan daunpun jatuh sangat pelan.

Kemudian tangan besar mengguncang pundakku pelan. "Noona!"


Aku menerjapkan mataku menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menembus kaca jendelaku.

Aku melirik jam digital di meja dekat ranjangku.
07:15.

"Jisuuung!!! Kita telat," aku segera bangkit dari tidurku dan berlari dengan nyawa yang belum terkumpul menuju ke kamar mandi.

"Aduh."

Pekikku menabrak beberapa barang entah apa, yang penting aku sampai di kamar mandi.

"Noona! Jisung tunggu di bawah!" Teriak Jisung dari kamarku.

"Iya!!"




— tbc.



To be continued (?)
Please vote and type positive words, thank you 🤗

Dhea.

An Untitled Story.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang