Kesekian kali Zaki membaca novel Cinta Sejati, kesekian kali pula ia melempar buku novel tersebut ke kasurnya. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang begitu besar, seolah ia akan meledak kapan saja.
“Huh! Berkali-kali baca ini, tetep aja dibikin kesel. Masa iya ngasih endingnya ke Sora gini amat. Curiga authornya benci Sora, deh.” Zaki mengambil kembali buku yang ia lemparkan ke kasur. Dibaca tulisan yang tercetak besar di bagian sampul.
Cinta Sejati, novel yang mengisahkan romansa anak sekolah dibumbui konflik cinta segitiga yang menegangkan. Novel ini ditulis dengan pendekatan bahasa ke arah remaja sehingga lebih mudah dipahami dan juga memiliki karakter yang menarik dengan pesona mereka masing-masing.
Zaki membaca novel ini usai salah satu temannya meminjamkannya kepadanya.
Awalnya Zaki enggan untuk membaca novel ini. Dia beranggapan laki-laki tidak pantas membaca novel. Namun, temannya terus mendesak dan memberikan beberapa pendorongan, akhirnya Zaki coba membaca bagian awal.
Ternyata, membaca bagian awal cerita membuatnya terhanyut dalam cerita hingga menyelesaikan novel dalam satu malam.
Benar yang dikatakan temannya. Novel ini memang sangat menarik. Begitu menarik hingga ia menyukai salah satu karakter di dalamnya. Karakter sampingan yang selalu bersama karakter utama.
Meski hanya sampingan, tetapi ia meninggalkan kesan mendalam di mata Zaki yang membacanya.
Sayangnya dalam novel, karakter tersebut mendapat nasib tidak terduga. Zaki yang membacanya begitu terkejut sampai ia berandai apakah penulis menaruh rasa benci terhadap karakter yang dibuatnya sendiri.
Menatap sampul depan buku, Zaki termenung. Kalau aku di sana, pasti aku sudah bahagiakan dia.
Zaki meletakkan novel tersebut di atas meja belajar, membantingkan tubuhnya ke tempat tidur seperti tuna beku. Kepalanya tenggelam dalam bantal putih yang empuk. Sebelum tidur, ia memikirkan bagaimana nasib karakter favoritnya dalam buku. Dalam hati ia mengutuk penulis novel Cinta Sejati karena membuat karakter favoritnya mendapat nasib tersebut.
Coba aja bisa ketemu Sora.... batinnya sebelum memejamkan mata, memasuki dunia kapuk yang indah dan penuh fantasi.
Dalam tidurnya yang lelap, seekor kupu-kupu dengan sayap biru keunguan yang indah dan bersinar menyelinap masuk melalui ventilasi. Kupu-kupu itu terbang di atas tubuh Zaki yang tertidur pulas.
Itulah pemandangan terakhir yang Zaki tidak ketahui di malam itu.
Paginya, Zaki duduk di atas ranjang dalam keadaan linglung. Matanya seperti tidak fokus seperti orang bodoh. Ia tidak sedang membeku di tempat tidurnya saat ini. Otaknya tengah mencerna pemandangan di hadapannya.
Ruang kamar yang besar, bercat hitam putih dan penuh dekorasi sepak bola. Sekilas ini tampak seperti kamar milik anak orang kaya.
Namun, bukan itu yang menjadi masalah!
Ini bukan kamarnya! Ini bukan pemandangan yang biasa dilihatnya ketika bangun tidur.
“Lah, ini aku di mana? Masa iya aku diculik tanpa sadar? Aku terlalu kebo atau bagaimana?” Zaki bermonolog, masih mencoba mencerna situasi yang dihadapinya sekarang.
Dengan pelan ia menapakkan kedua kaki di lantai, berjalan menelusuri kamar besar tersebut. Bila diperhatikan, kamar ini jauh lebih besar dibanding kamar aslinya. Bahkan kamar ini penuh dengan dekorasi sepak bola, seolah pemilik begitu menyukai olahraga tersebut.
“Gak mungkin aku disalah sangka jadi anak orang, kan.”
Begitu Zaki menoleh, ia kembali dikejutkan dengan sesuatu.
Dia melihat wajah tidak dikenal melalui cermin. Mengedipkan mata beberapa kali, Zaki mendekati cermin tersebut, menatap wajah asing itu dalam dekat.
Berkali-kali ia memastikan ia memegang, mengelus, mencubit, menampar wajah asing ini, dan benar ia dapat merasakan sakitnya. Zaki menganga kebingungan. “Ini siapa anjir?!”
Tiba-tiba pintu didobrak kencang, memperlihatkan wanita paruh baya membawa sendok sayur. Raut wajahnya tampak kesal. Ia menunjuk pemuda yang kebingungan tersebut menggunakan sendok sayur. “Ngapain kamu pagi-pagi udah teriak, Faizan?!” teriaknya kemudian melemparkan sendok itu. “Kalo udah bangun, mending mandi terus siap-siap berangkat sekolah daripada teriak kayak orang gila!”
Pintu kembali tertutup rapat seusai dibanting cukup keras. Zaki memandang dengan ekspresi kepompong.
Faizan? Siapa itu Faizan?
Kemudian Zaki menoleh ke arah cermin kembali. Wajah pemuda yang tidak ia kenali, wanita paruh baya yang memanggilnya dengan nama lain, dan keadaan kamar yang sangat jauh berbeda. Zaki bisa menyimpulkan beberapa hal.
Entah dia merasuki tubuh seseorang, atau bertransmigrasi ke suatu dunia.
Dia harus mencari tahu itu!
Dengan cepat, Zaki membuka lemari dan memeriksa logo sekolah yang terpasang di bagian bahu seragam. Di sana tertulis SMA Bulan Sabit. Tunggu, dia merasa tidak asing dengan nama sekolah ini.
Bukannya ini nama sekolah di novel Cinta Sejati?
Zaki mengingatnya karena baginya nama sekolah itu sangat aneh dan meninggalkan kesan tersendiri di ingatannya. Jika pemuda yang ia rasuki ini adalah siswa dari SMA Bulan Sabit, itu artinya dia masuk ke dalam novel Cinta Sejati.
Memastikan dugaannya, Zaki membuka isi tas pemilik asli. Benar saja, nama sekolah yang sama juga tercantum di buku pelajaran.
“Bener, aku masuk ke novel ini. Apa-apaan ini, kirain plot kayak begini cuman ada di novel. Sekarang aku mengalaminya sendiri.”
Zaki memandangi wajah tubuh yang dia rasuki dengan saksama. Jika dilihat-lihat, orang ini memiliki perawakan yang lumayan. Mungkin levelnya sama dengan karakter utama. Suaranya juga begitu menenangkan bila ia dengar.
“Tadi siapa namanya? Faizan Keenan, ya.... aku enggak inget kamu pernah muncul di novel. Bisa aja kamu cuman NPC gak guna,” gumamnya seraya menghela napas.
Tunggu, justru malah bagus kalau si Faizan ini cuman NPC. Apa yang dilakukannya gak akan memengaruhi jalan cerita novel.
Saat itu, Faizan mengingat sesuatu. Ia menoleh sekitar kemudian menemukan ponsel tergeletak di atas nakas dalam kondisi sedang diisi daya. Faizan mengambil ponsel tersebut dan menyalakannya.
Menyadari sesuatu setelah menyalakan ponsel, buru-buru Faizan membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Dalam sekejap dia sudah berpakaian rapi dengan seragamnya. Faizan mengambil tasnya, berlari ke luar rumah mengabaikan panggilan ibunya yang memintanya sarapan dahulu.
Tidak! Dia rela melewatkan sarapan. Ada yang lebih penting saat ini!
Kedua tungkai Faizan berlari cepat menuju ke sekolah. Berterima kasih pada tubuh ini, dia cukup bugar dan cekatan dalam berlari sehingga tidak membutuhkan banyak waktu lama untuk sampai di sekolah.
Peluh keringat menetes membanjiri seluruh permukaan kening Faizan. Ia bergegas menuju ke bagian belakang sekolah.
Sampai di sana, matanya menangkap satu sosok hendak menjatuhkan diri dari atap bangunan sekolah. Kedua kakinya sigap berlari sembari meregangkan tangan untuk menangkap sosok yang terjatuh tersebut.
Cukup lama memejamkan mata, kelopak mata Faizan terbuka. Seorang gadis kini berada dalam dekapannya dan menundukkan kepala. Pemuda itu menghela napas.
Oh, astaga! Untung aku bisa selametin dia. Hampir aja aku kehilangan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance To Live
Teen Fiction"Aku ingat aku tertidur setelah membaca novel yang temanku berikan kepadaku. Lantas kenapa begitu terbangun, aku malah terdampar di dalam novel ini?" **** Zakaria Zaki, yang sudah berkali-kali membaca novel Cinta Sejati yang temannya pinjamkan kepad...